“iya rumahnya hanya sejengkal tembok dari dinding itu”
Sudah dua tahun lamanya, Satiri, putra sulung dari Keluarga Santoso bersekolah yang jarak tempuhnya sekitar dua belas kilometer dari kediamannya.
Pagi itu Pak Santoso bergegas membangunkan putra bungsunya. “dik..ayo bangun” iya pak jawab Hamdi, sibungsu yang sedang menguap dan mengusap-usap kedua matanya, anak itu masih menggunakan baju tidur alakadarnya dan mulai beranjak dari tempat tidur, jalannya pun masih lunglai. “dik…mandi dulu ya, abis itu jangan lupa sholat subuh ibu lagi goreng tempe nih buat sarapan” sibungsu hanya menjawab “heh” seperti gumamman anak yang baru beranjak puber.
Hari itu sibungsu dari keluarga Santoso pun sudah bersiap, “dik..ayo sarapan dulu” ajak Bu Santoso, “iya bu” jawab Hamdi, Pak Santoso pun bergegas membuka tudung saji, tercium aroma ikan asin kesukaannya, “Satiri..satiri..ini ibu goreng
tempe, telur, dan ikan asin, bapak ambil tempe dan ikan asin ya… kamu dan Hamdi sarapan pakai telur dan tempe” begitulah sarapan ala keluarga Santoso, penuh hikmat dan bersahaja.
Kali ini Pak Santoso mulai bekerja Siang hari, sesuai jadwal pergantian “Shift“, Pakain oranye adalah jubahnya, sapu, pengki dan perkakas lainnya adalah senjata dalam mencari rezeki yang halal untuk anak dan istrinya.
Pak Santoso bersiap untuk mengantar sibungsu Hamdi kesekolah SMP yang berjarak sejengkal tembok dari rumahnya, sebelum melangkahkan kaki, ia teringat sisulung Satiri, dua tahun yang lalu sisulung ingin masuk sekolah yang bagian belakang temboknya masih menempel dengan dinding belakang rumahnya, tapi apalah daya, ketika itu nilai kelulusan Satiri termasuk pas-pasan, jika digabungkan mungkin hanya kisaran kepala dua.
Hari ini Satiri libur sekolah, Pak Santoso serta Hamdi berangkat menuju SMP yang hanya satu menit berjalan kaki. ” pak… adik nanti diterima gak disekolah ini? nilai UN(Ujian Nasional) adik kan kecil gak jauh beda sama kak Satiri” tanya Hamdi ke Ayahnya, “berdoa saja dik, semoga nanti bisa sekolah disini” jawab Pak Santoso, “iya pak, mudah-mudahan adik bisa sekolah disini, tapi pak kata temen-temen adik, anak-anak yang sekolah disini pada kaya-kaya”. “gak apa-apa dik yang penting nanti kamu semangat belajar disekolah ini, jangan minder ya dik kalau teman-teman disekolah banyak yang kaya, yang kaya kan orangtua mereka saja” sahut Pak Santoso mencoba membesarkan hati sibungsu.
Sekumpulan orangtua pun berkumpul melihat ke papan pengumuman, loh kok berubah…kok berubah..kok berubah, guman beberapa orangtua siswa, anak saya nilai UNnya tinggi loh, ungkap salah satu orangtua siswa yang sebenarnya tinggal diluar provinsi ini.
Lah kok anak saya belum bisa masuk pak? tanya salah satu orangtua kepada petugas pemberkasan disekolah itu, lah yang ini nilai UNnya lebih kecil dari anak saya, menunjuk pada nilai Hamdi yang lebih rendah.
Petugaspun memberikan penjelasan tentang sistem zonasi yang baru ditetapkan. “begini bu, sistem zonasi inikan ada beberapa tahap, sesuai dengan zona yang diprioritaskan untuk masuk, nah ibu dan anaknya berdomisili diluar provinsi ini dengan jarak cukup jauh dari sekolah ini, kami sarankan untuk ibu mencari sekolah yang dekat dengan tempat tinggal anaknya atau nanti mengikuti jalur nonZonasi ditahap selanjutnya.”iya pak terimakasih penjelasannya” ungkap orangtua siswa tersebut mencoba memahami faedah sistem ini.
Disisi lain Pak Santoso mengucap Syukur. “Alhamdullilah ya dik kamu diterima disekolah ini, mudah-mudahan kamu makin semangat dan rajin belajar”. terimakasih ya pak, adik selalu dapat semangat dari bapak, ibu dan kak satiri.
“Peraturan-peraturan yang dibuat, sebenarnya sudah dikaji mendalam, guna mendapakan keadilan”
Add Comment