Kajian

PENDIDIKAN KARAKTER /AKHLAK BERBASIS KEARIFAN LOKAL

PENDIDIKAN KARAKTER/AKHLAK BERBASIS KEARIFAN LOKAL​​ 

(Studi Lapangan​​ di desa Tua Tunu, Pangkal Pinang, Bangka)

Sepintu Sedulang​​ 

Oleh : H. Ahmad Irfan, SS,M.Pd.I

 

  • PENDAHULUAN​​ 

 

  • Latar Belakang Masalah​​ 

Ketika Bangsa Indonesia bersepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, para bapak pendiri bangsa (the Founding fathers) menyadari bahwa paling tidak ada tiga tantangan besar yang harus dihadapi. Pertama, adalah mendirikan Negara yang bersatu dan berdaulat, kedua adalah membangun bangsa, dan ketiga adalah membangun karakter. Salah satu pendiri bangsa, presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, bahkan menegaskan:” Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena itulah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya, serta bermartabat. Di Indonesia pelaksanaan pendidikan karakter saat ini memang dirasakan mendesak.​​ Gambaran situasi masyarakat bahkan situasi dunia pendidikan di Indonesia ​​ dirasakan amat perlu pengembangannya bila mengingat makin meningkatnya tawuran antar pelajar, serta bentuk-bentuk kenakalan remaja, pemerasan/kekerasan (bullying), kecenderungan dominasi senior terhadap yunior, pengguna narkoba, dan lain-lain.​​ (hariyanto 2014)

Menurut Doni Koesoema Albertus, karakter diasosiasikan dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsure psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Karakter juga dipahami dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsure somato-psikis yang dimiliki oleh individu sejak lahir. Disini, karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai cirri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang, yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya pengaruh keluarga pada masa kecil dan bawaan seseorang sejak lahir.​​ (Albertus 2010)

​​ Pendidikan karakter mampu menjadi penggerak sejarah menuju Indonesia emas yang dicita-citakan. Dalam pendidikan karakter manusia dipandang mampu mengatasi determinasi di luar dirinya sendiri. Dengan adanya nilai yang berharga dan layak diperjuangkan, ia dapat mengatasi keterbatasan yang dimiliki. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti yang melibatkan​​ aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action), menurut Thomas Lickona tanpa ketiga aspek ini, pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan seorang anak akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tatangan untuk berhasil secara akademis.​​ (Khan 2010)

Sarlito Wirawan Sarwono dalam makalahnya​​ Remaja dalam Era Industri dan Komunikasi​​ menjelaskan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan perubahan nilai-nilai manusia. Perubahan ini semakin memudarkan nilai-nilai moral dalam masyarakat, yang pada gilirannya menuntut masyarakat menyesuaikan diri terhadap perubahan yang sedang berlangsung, atau tidak sama sekali. Untuk kemudian dilindas dan tertinggal. Setiap agama dijadikan pedoman bagi pemeluknya dalam menjalankan aktivitas hidup sehari-hari dan setiap agama memiliki nilai-nilai yang luhur sebagai instrument menjalankan kehidupan pribadi, berbangsa, bernegara, bermasyarakat. Namun, sejauh mana nilai-nilai agama dan budaya bangsa dapat mengantisipasi perubahan yang sedang menggelinding di depan mata umat manusia? Hal tersebut dikarenakan erosi nilai-nilai agama dan budaya bangsa dan derasnya arus budaya asing pada era global dan informasi saat ini. Selain itu, agama dan budaya yang berbeda dijadikan sebagai sarana menciptakan kerusuhan dan pertikaian baik perbedaan suku, agama, ras/keturunan, maupun antargolongan (SARA). Hal inii perlu menjadi pemikiran bagi seluruh pemeluk agama dan pemilik budaya bangsa untuk mengembalikan ajaran agama yang sacral dan kearifan local yang ada di setiap daerah supaya agama tetap dijunjung tinggi, tidak dapat “membumi”.​​ (Salahudin 2013)

Diakui atau tidak, menurut Sohari, memudarnya nilai-nilai moral dalam masyarakat modern, disebabkan pula oleh sistem pendidikan modern yang sekuler, baik dalam pendidikan formal maupun nonformal, pergerseran nilai dalam kehidupan pribadi, kelurga dan masyarakat. Salah satu pembentuk dan penguat karakter budaya bangsa adalah dengan tetap terus menjaga serta melestarikan​​ kearifan lokal​​ masing-masing daerah. Dengan melihat ​​ kearifan lokal​​ sebagai bentuk kebudayaan maka ia akan mengalami​​ penguatan​​ secara terus menerus menjadi lebih baik. Oleh karena itu maka​​ kearifan lokal​​ sebagai manifestasi kebudayaan menunjukkan sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan serta pembentuk karakter masyarakat. Dalam hal ini peneliti mengangkat kearifan lokal masyarakat desa adat Tua Tunu, Pangkal Pinang kepulauan Bangka Belitung.​​ 

 

 

 

 

  • KERANGKA TEORI​​ 

 

  • Konsep​​ Pendidikan Karakter​​ 

Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (1991) adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya. Aristoteles berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku. Menurut Elkind dan Sweet pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu memahami manusia,, peduli dan inti atasa nilai-nilai etis/susila. Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat diantara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagaimana pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan dinegara-negara Barat, seperti : pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai nilai. Sebagian yang lain menyarakan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.​​ 

Berdasarkan​​ grand desain​​ yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial cultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial cultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosialkultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: (1) olah hati (spiritual and emotional development), (2) olah pikir (intellectual development), (3) olah raga dan kinesteteik (physical and kinesthetic development), dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development), keempat hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, bahkan saling melengkapi dan saling keterkaitan.​​ 

Pengkategorian nilai didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakikatnya perilaku seseorang yang berkarakter merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosio-kultural dalam konteks interaksi (dalam kelurga,satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.​​ (Gunawan 2014)​​ 

Pendidikan akhlak yang pemaknaannya sama dengan pendidikan karakter berhubungan dengan pendidikan moral dan etika. Hal ini karena moral dan etika sama-sama digunakan untu tingkah laku atau tindakan. Konsep etika berhubungan dengan filsafat sehingga pemahaman etika harus berpijak dari filsafat. Pembahasan mengenai karakter, akhlak, etika, dan moral memiliki kesamaan substansial jika dilihat secara normative, karena pola tidakan yang dinilai “baik” atau “ buruk”, bedasarkan ide-ide yang berbeda. Etika dinilai menurut pandangan filsafat tentang munculnya tindakan dan tujuan rasional dari tindakan. Akhlak adalah wujud dari keimanan atau kekufuran manusia dalam bentuk tindakan, sedangkan moral merupakan bentuk tingkah laku yang diideologisasikan menurut pola hidup bermasyarakat dan bernegara yang rujukannya diambil dari social normative suatu masyarakat, dari ideologi Negara, ​​ agama. Dan dapat pula diambil dari pandangan-pandangan filosofis manusia sebagai individu yang dihormati, sebagai pemimpin dan sebagai sesepuh masyarakat. ​​ 

 

  • Kearifan Lokal : Benteng​​ Karakter Masyarakat

Budaya Nusantara yang Bhineka Tunggal Ika merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari. Kebinekaan ini harus dipersandingkan bukan dipertentangkan. Keberagaman ini merupakan manifestasi gagasan dan nilai sehingga saling menguat dan untuk meningkatkan wawasan dalam apresiasi. Kebhinekannya menjadi bahan perbandingan untuk menemukan persamaan pandangan hidup yang berkaitan dengan nilai kebajkan dan kebijaksanaan.​​ 

Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kegiatan manusia memperlakukan lingkungan aamiahnya, itulah kebudayaan. Kebudayaan merupakan usaha manusi, perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari depannya. Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan oleh sebab itu dituntut adanya kemampuan, kreativitas, dan penemuan-penemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam mencapai kehidupan yang lebih manusiawi. Dasar dan arah yang dituju dalam perencanaan menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan. ​​ 

Dengan melihat ​​ kearifan lokal​​ sebagai bentuk kebudayaan maka ia akan mengalami​​ penguatan​​ secara terus menerus menjadi lebih baik. Oleh karena itu maka​​ kearifan lokal​​ sebagai manifestasi kebudayaan menunjukkan sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan. Akan tetapi, apakah ia akan tetap menjadi dirinya tanpa perubahan, benturan kebudayaan akan menjawabnya. Dinamika kebudayaan merupakan suatu hal yang niscaya. per ini tidak lepas dari aktivitas manusia dengan peran akalnya. Dinamika atau perubahan kebudayaan dapat terjadi karena berbagai hal. Secara fisik, bertambahnya penduduk, berpindahnya penduduk, masuknya penduduk asing, masuknya peralatan baru, mudahnya akses masuk ke daerah juga dapat menyebabkan perubahan pada kebudayaan tertentu. Dalam lingkup hubungan antar manusia, hubungan individual dan kelompok dapat juga mempengaruhi perubahan kebudayaan. Satu hal yang tidak bisa dihindari bahwa perkembangan dan perubahan akan selalu terjadi.​​ (Radmila 2013)

Dikalangan antropolog ada tiga pola yang dianggap paling penting berkaitan dengan masalah perubahan kebudayaan:​​ evolusi, difusi​​ dan​​ akulturasi. Landasan dari semua ini adalah penemuan dan inovasi. Dalam perjalanannya, budaya nusantara , baik yang masuk kawasan istana atau diluar istana, tidak statis. Ia bergerak sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan adanya kontak budaya, difusi, akulturasi, asimilasi sebagaimana dikatakan sebelumnya,, Nampak bahwa perubahan budaya di masyarakat akan cukup signifikan.​​ 

Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus.​​ Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam. Di antaranya adalah sebagai berikut :​​ 

  • Berfungsi untuk konservasi ​​ dan pelestarian sumber daya alam

  • Berfungsi untuk pengembangan sumber daya alam

  • Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan

  • Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.

  • Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.​​ 

  • Bermakna sosial misalnya pada upacara daur pertanian

  • Bermakna etika dan moral

  • Bermakna politik.​​ 

Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah kearifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Penelitan ini lebih memfokuskan pada pembahasan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal pada masyarakat desa adat Tua Tunu, Pangka Pinang Bangka lebih khusus lagi pada fungsi etika dan moral sebagai pembentuk karakter.​​ 

  • Sejarah Pangkal Pinang

Pangkal Pinang mulai disebut dalam literature sekitar abad 17, Pangkal berarti: Pusat Distric (Distric Capital); kota tempat pasar (Market Town) tempat berlabuh kapal (Boat landing dan pusat segala aktifitas dimulai ( where a path begine) sedangkan Pinang​​ (area chatecu) adalah nama sejenis tubuhan palem yang multi fungsi dan banyak tumbuh di Bangka. Pada tahun 1813 Inggris (East India Company) menjadikan Pangka Pinang distrik dari 7 distrik ekplorasi timahyang produktif disamping Jebus, Klabat, Sungailiat, Merawang, Toboali, dan Belinyu. Sejak ituah pangkal Pinang terkenal sebagai Kota Timah dan Kota Kecil Pusat Perdagangan dan Jasa di Pulau Bangka. Mulanya Pangkal Pinang adalah sebuah kampong kecil berupa pangkalan (parit) pengumpulan timah daerahnya berawa-rawa dan dibelah oleh sungai-sungai (sungai Rangkui dan Sungai Pedindang) yang dapat dilayari oleh kapal-kapal dan perahu (Wangkang) sampai ke Muara, lambat laun tumbuh menjadi kampong besar yang terbukti pada tahun 1848, Pangkal Pinang memiliki penduduk sejumlah 6695 orang yang tersebar di 105 kampung. Karena letak Pangkal Pinang yang strategis di tengah pulau Bangka maka Belanda menjadikan pangkal Pinang sebagai basis kekuatan militer utuk menumpas perlawanan Depati bahrin (1820 sd 1828)dan perlawanan Depati ​​ Amir (1848 sd 1851).​​ 

Sejarah Pangkal Pinang secara mendasar tidak dapat dipisahkan dari pengaruh kekuasaan kekaisaran Tiongkok di Asia Timur dan perbutan penguasaan atau eksploitasi terhadap biji timah oleh berbagi bangsa. Sebagai bukti dari kedua hal tersebut dapat dilihat dar monumen hidup (living Monument) diantaranya klenteng yang tersebar hampir diseluruh pelosok kota dalam ungsi dan kegunaannya, bentuk bangunan rumah tinggal berarsitektur Vernakuler China berikut dengan penataan pemukiman yang dipisahkan dengan banyaknya gang sempit, tersebarnya makam-makam tua orang China yang disebut Pendem China, pemakaman Belanda (Kerkhof) ditemukan meriam kuno tua yang terbut dari besi da perunggu misalnya yang ada di depan rumah Dinas Walikota (1957) dan di depan Polres Pangkal Pinang (1954).​​ 

Usia kota Pangkal Pinang tergolong muda kalau dilihat dari aspek kepemerintahan, akan tetapi sebagai kota sejarah, khususnya sejarah pembangunan timah dengan berdirinya BTW (Banka Tin Winning Bedriff) di Bangka dan pusat administrasi negeri (Bestuur). Sejak menjadi ibu kota Keresidenan Bangka tanggal 3 September 1913, dengan residen pertama A.J.N Engelendberg Pangka Pinag mulai tumbuh dan berkmbang menjadi ​​ kota yang ramai dengan segala aktivitasnya. Sebagai kantor pusat penambangan timah terbesar di dunia perekonomian masyarat Pangkal Pinang serasa sangat dinamis ditunjang lagi dengan letak nya yang strategis di lintas internasional.​​ (Pinang n.d.) ​​ ​​ ​​​​ 

 

III.​​ METODOLOGI PENELITIAN​​ 

 

  • Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa data-data tertulis atau lisan dari orang-orang dan karakter yang dapat diamati sebagai objek penelitian​​ (Moleong 2010).​​ Adapun jenis penelitian yang peneliti teliti adalah menggunakan jenis penelitian studi kasus. Yang dimaksud studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena didalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan dimana multi​​ sumeber dimanfaatkan.​​ (K.yin 2006)

  • Data dan Sumber Data

Data merupakan keterangan-keterangan tentang suatu hal, dapat berupa sesuatu yang diketahui atau suatu fakta yang digambarkan lewat keterangan, angka, simbol, kode dan lain-lain.​​ Sedangkan yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data dapat diperoleh.​​ (Arikunto 2010)​​ Misalnya, apabila peneliti menggunakan kuesioner atau wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang-orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik secara tertulis maupun lisan.

Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan berbagai macam data yang berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari informasi yang telah diolah oleh pihak lain. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data yang sesuai dengan​​ judul penelitian, yaitu​​ Pendidikan​​ Karakter Berbasis Kearifan Lokal​​ ​​ (Studi​​ Lapangan​​ di​​ desa Tua Tunu, Pangkal Pinang, Bangka). Data tersebut dapat bersifat deskriptif dalam bentuk kata-kata maupun​​ gambar​​ 

Sedangkan yang dimaksud dengan Sumber data dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Dengan demikian sumber data tersebut dapat berupa informan dan didukung dengan dokumentasi yang berupa naskah-naskah, data tertulis maupun foto.

Adapun yang menjadi subjek atau sumber data manusia dalam penelitian ini adalah​​ 

    • Kepala Adat Suku Tua Tunu​​ 

    • Ketua Masjid Raya Tua Tunu

    • Masyarkat Tua Tunu​​ 

Alasan​​ ditetapkannya​​ informan sumber data tersebut, pertama mereka sebagai pelaku yang terlibat langsung, kedua, mereka mengetahui secara langsung persoalan yang akan dikaji oleh peneliti, ketiga, mereka lebih menguasai berbagai informasi yang akurat berkenaan dengan permasalahan yang​​ akan diteliti.

Teknik​​ pemilihan​​ informan tersebut, penulis menggunakan sampling purposif, dimana peneliti cenderung memilih informan yang memenuhi kriteria-kriteria tertentu​​ yang​​ dianggap memenuhi dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang akurat serta mengetahui masalahnya secara mendalam.

  • Metode​​ Pengumpulan Data

Data yang valid dan lengkap sangat menentukan kualitas penelitian. Dalam tahap ini peneliti memperoleh dan mengumpulkan data melalui informasi secara lebih detail dan mendalam berdasarkan pada fokus penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu :

  • Participant Observation​​ 

Dalam obeservasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka dan dukanya. Dengan observasi partisipan ini, maka data yang akan diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap karakter yang nampak.​​ (Sugiyono 2011)​​ Secara umum observasi dilakukan dengan alasan :

  • Pengamatan didasarkan atas pengalaman secara langsung,

  • Tekhnik pengamatan juga memungkinkan peneliti dapat melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat karakter dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya,

  • Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proposional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data,

  • Sering terjadi ada keraguan pada peneliti,

  • Tekhnik pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi yang rumit, dan,

  • Dalam kasus-kasus tertentu dimana penggunaan tekhnik komunikasi lain-nya tidak dimungkinkan, maka pengamatan dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat.

Dalam​​ kaitannya​​ dengan penelitian tentang​​ Pendidikan​​ Karakter Berbasis Kearifan Lokal​​ ​​ (Studi​​ Lapangan​​ di​​ desa Tua Tunu, Pangkal Pinang, Bangka).​​ peneliti melakukan pengamatan berperan serta maupun​​ sebagai pengamat penuh terhadap beberapa aktivitas dalam​​ pendidikan karakter berbasis kearifan local di daerah tersebut.​​ 

  • Interview​​ 

Kaitannya​​ dengan penelitian tentang​​ Pendidikan​​ Karakter Berbasis Kearifan Lokal​​ ​​ (Studi​​ Lapangan​​ di​​ desa Tua Tunu, Pangkal Pinang, Bangka).​​ ​​ peneliti menggunakan​​ jenis​​ wawancara semi terstruktural.​​ Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan.

  • Dokumentasi

Metode pengumpulan data yang juga sangat penting adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi mempunyai peranan penting sebagai pendukung dan penambah data atau sebagai bukti konkrit bagi sumber lain. Suharsimi Arikunto berpendapat bahwa metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya.​​ Teknik dokumentasi ini adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada subyek penelitian, namun melalui dokumen. Dokumen yang digunakan dapat berupa laporan, notulen rapat, catatan kasus dalam pekerjaan sosial dan dokumen lainnya.​​ Dengan teknik dokumentasi, peneliti dapat mendapat berbagai data yang membutuhkan bukti konkret.​​ 

  • Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis transkip wawancara , catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang telah dihimpun oleh peneliti untuk menambah pemahaman peneliti sendiri dan untuk memungkinkan peneliti melaporkan apa yang telah ditemukan pada pihak lain. Oleh karena itu, analisis dilakukan melalui kegiatan menelaah data, menata membagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, mensintesiskan, mencari pola,​​ menemukan apa yang bermakna, dan apa yang akan diteliti dan diputuskan peneliti untuk dilaporkan secara sistematis.​​ Proses analisis data disini peneliti membagi menjadi tiga komponen, antara lain sebagai berikut:

  • Reduksi data

Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, membuang yang tak perlu, dan mengoranisakan data sedemikian rupa sehinggga diperoleh kesimpulan akhir dan diverivikasi. Laporan-laporan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok, difokuskan mana yang penting dicari tema atau polanya dan disusun lebih sistematis.​​ Reduksi data berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung. Peneliti mengumpulkan semua hasil penelitian yang berupa wawancara, poto-poto, serta catatan penting lainya yang berkaitan ​​ dengan​​ Pendidikan​​ Karakter Berbasis Kearifan. Selanjutnya, peneliti memilih data-data yang penting dan menyusunnya secara sistematis dan disederhanakan.

Data yang sudah disederhanakan selanjutnya disajikan dengan cara mendikripsikan dalam bentuk paparan data secara naratif. Dengan demikian didapatkan kesimpulan sementara yang berupa temuan penelitian yakni​​ berupa​​ Pendidikan​​ Karakter Berbasis Kearifan Lokal​​ ​​ (Studi​​ Lapangan​​ di​​ desa Tua Tunu, Pangkal Pinang, Bangka).​​ Data display (Penyajian data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data​​ atau​​ menyajikan data. Dengan mendisplaykan data​​ atau​​ menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah difahami tersebut.

  • Penarikan kesimpulan​​ 

Menarik kesimpulan selalu harus mendasarkan diri atas semua data yang diperoleh dalam kegiatan penelitian. Dengan kata lain, penarikan kesimpulan harus didasarkan atas data, bukan atas angan-angan atau keinginan peneliti.​​ (Asmani 2011)

Kesimpulan atau verifikasi dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung, yaitu pada awal peneliti mengadakan penelitian di​​ ​​ desa Tua Tunu, Pangkal Pinang, Bangka​​ dan selama proses pengumpulan data. Dengan bertambahnya data melalui proses verivikasi secara terus menerus akan diperoleh kesimpulan yang bersifat menyeluruh. Dengan demikian, peneliti melakukan kesimpulan secara terus-menerus selama penelitian berlangsung.

  • Pengecekan Keabsahan​​ Data

Keabsahan atau keshahihan data mutlak diperlukan dalam penelitian jenis kualitatif ini. Untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Menurut Moleong ada empat kriteria yang digunakan, yaitu derajat kepercayaan (credability), keteralihan (transferability),​​ kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).

Dalam​​ hal ini peneliti menggunakan metode​​ triangulasi. Yang dimaksud​​ triangulasi adalah tekhnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan empat macam triangulasi yaitu :

  • Triangulasi dengan sumber,

Triangulasi dengan sumber, berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperolah melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Dalam triangulasi dengan sumber ini, peneliti melakukan beberapa hal:

  • Peneliti membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara,

  • Peneliti membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi,

  • Peneliti membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu,

  • Peneliti membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang,

  • Peneliti membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

  • Triangulasi metode,

Terdapat dua strategi dalam triangulasi metode ini, yaitu :

  • Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data,

  • Pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.​​ 

  • Triangulasi teori,

Triangulasi teori yaitu penggunaan sudut pandang ganda atau teori lain dalam menafsirkan seperangkat tunggal data .

  • Triangulasi metodologis,

Triangulasi metodologis yaitu penggunaan metode ganda untuk mengkaji masalah atau program tunggal, seperti wawancara, pengamatan, daftar pertanyaan terstruktur,​​ dan dokumen.

 

  • URAIAN HASIL LAPANGAN

 

Pada bagian ini peneliti akan memaparkan fokus dari penelitian ini yaitu​​ Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal (Studi Lapangan di desa Tua Tunu, Pangkal Pinang, Bangka)​​ dimana penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan pendekatan deskriptif. Pada penelitian kualitatif peneliti dituntut dapat menggali data berdasarkan apa yang diucapkan, dirasakan,dan dilakukan oleh sumber data. Pada penelitian kualitatif peneliti bukan sebagaimana seharusnya apa yang difikirkan oleh peneliti tetapi berdasarkan sebagaimana adanya yang terjadi di lapangan, yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh sumber data. Selanjutnya pada bagian ini akan dibagi menjadi tiga bagian agar lebih sistematis dan​​ terarah yaitu sebagai berikut :​​ 

        • Deskripsi informan penelitian

        • Deskripsi hasil penelitian

        • Pembahasan​​ 

1). Deskripsi Informan Penelitan​​ 

Semua informan dalam penelitian ini tidak merasa keberatan untuk disebutkan namanya, adapun informan penelitan ini adalah sebagai berikut :​​ 

  • Ust. Tami (Ketua Masjid Raya Tua Tunu serta Tokoh Masyarakat)​​ 

Selama penelitian menjalani proses penelitian ust. Tami sangat membantu menjelaskan kearifan lokal masyarakat Tua Tunu, terutama tradisi Nanggung. Beliau merupakan tokoh masyarakt di desa Tua Tunu yang setiap keputusannya sangat dihormati. ​​ 

  • Akhmad Faisal (Warga desa Tua Tunu)

Informan kedua yang peneliti wawancarai adalah bapak Akhmad Faisal,M.Pd.I beliau adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam di SMPN 9 Pangkal Pinang, dan juga beliau aktif dalam kegiatan di masyarakat dan sangat konsen di bidang pendidikan. Banyak hal yang peneliti dapatkan dari hasil wawancara dan diskusi dengan beliau.

2).​​ Deskripsi Hasil Penelitian​​ ​​ 

Data dari hasil penelitian pada penelitian ini didapatkan melalui wawancara mendalam yang dilakukan peneliti. Dimana seluruh informan yang melakukan wawancara adalah ketua masjid raya Tua Tunu serta salah seorang masyarakat desa Tua Tunu. Adapun cuplikan wawancara sebagai berikut dan jawaban wawancara peneliti catat dalam bentuk sederhana akan tetapi akan dikembangkan di pembahasan:​​ 

 

 

 

 

 

  • Nara Sumber (1): ​​ Ketua Masjid Raya Tua Tunu sekaligus tokoh Masyarakat ​​ (Ust. Tami)

No

Pertanyaan​​ / Jawaban

1.

Jenis nilai-nilai apa saja yang masih di internalisasi oleh warga​​ masyarakat kampung adat?

Jawaban​​ : nilai-nilai yang masih di internalisasi di desa adat Tua Tunu ini adalah nilai kepedulian, religious, toleransi, kebersamaan, gotong royong, menghormati leluhur, menghormati tamu dll

2.

Bagaimana proses mereka menginternalisasi nilai yang mereka yakini?

Jawaban :​​ cara masyarakat desa adat Tua Tunu menginternalisasi nilai​​ yang mereka yakini beberapa adat kebiasaan masyarakat Tua Tunu seperti Nganggung, Perang Ketupat, Milang Ari, pawai Ta’aruf, Rumahan dll

3.

Bagaimana peran pemimpin/kepala suku dalam menjaga​​ dan melestarikan nilai-nilai lokal tersebut.

Jawaban :​​ peran pemimpin/kepala suku dalam menjaga dan melestarikan nilai-nilai lokal di masyarakat Tua Tunu adalah dengan terus memperingati beberapa tradisi yang sudah menjadi ciri khas masyarakat Tua Tunu, khususnya tradisi Nganggung. Tradisi nganggung ini dikenal dengan istilah “Sepintu Sedulang” yang artinya “setiap satu rumah membawa makanan”, nganggung ini dilaksanakan dalam rangka memperingati hari besar Islam, menyambut tamu, takziah ketika ada tetangga yang meninggal dunia. Setiap rumah yang menjadi anggota masyarakat sekitar dianjurkan untuk bersedekah atau nganggung dengan membawa makanan sesuai dengan kemampuannya ke tempat acara nganggung yang biasanya dilaksanakan di rumah penduduk atau di masjid raya Tua Tunu.

4

Bagaimana bentuk Karakter yang mereka miliki sebagai hasil dari proses internalisasi nilai?

Jawaban :​​ Karakter yang mereka miliki sebagai hasil dari proses internalisasi nilai​​ adalah rasa kepedulian, zuhud, toleransi, kedermawanan, siaturahmi, gotong royong dan lain-lain

5.

Keuntungan dan kerugian apa saja,  ​​​​ bertahan dalam kelompok masyarakat adat?

Jawaban :​​ sejauh ini ​​ kami merasa tidak ada kerugian bertahan dalam kelompok masyarakat adat yang menjalankan tradisi, khususnya menjalankan tradisi Nganggung, bahkan keuntungan yang kami dapat adalah makin banyaknya masyarakat yang mempunyai rasa kepedulian terhadap sesama, terkikisnya sifat bakhil dalam diri masyarakat kami, dan makin antusiasnya masyarakat dalam menjalankan tradisi nganggung ​​ dari tahun ke tahun.​​ Serta silaturahmi kami dapat terjalin dengan baik dan sangat mudah bagi kami untuk meminta pertolongan jika kami mengalami kesusuhan.​​ 

6.

Faktor pendorong (Push factors ) dan faktor penarik (pull factor) apa sajakah yang membuat mereka bertahan dalam kelompok ​​ masyarakat adat?

Jawaban :​​ faktor pendorong yang menyebabkan mereka tetap bertahan dan melestraikan adat (nganggung) adalah karena kuatnya mereka dalam memegang teguh pemahaman agama serta tingginya rasa solidaritas antar individu masyaraka dan besar nya tanggung jawab masyarakat adat Tua Tunu dalam melestarikan budaya.​​ 

7.

Bagaimana aspirasi ​​ dan ekpektasi warga masyarakat kampung​​ adat​​ terhadap perubahan nilai-nilai ​​ social ​​ diluar ​​ komunitasnya?

 

Jawaban :​​ berdasarkan hasil temuan yang peneliti dapatkan dan amati di masyrakat adat Tua Tunu, nampaknya mereka tidak terlalu khawatir terhadap perubahan nilai-nilai sosial, hal itu dikarena sudah tertanam dan melekatnya masyarakat desa Tua Tunu dalam menjalankan tradisinya. Kewajiban setiap kepala rumah tangga di desa ini adalah mengajarkan serta memahamkan anggota keluarga nya untuk tetap melestarikan budaya. Walaupun ada perubahan nilai sosial itupun hanya sebagian kecil saja dan bukan pada tataran yang krusial.

 

8.

Apakah nilai-nilai luar menjadi ancaman?

Jawaban :nilai-nilai luar yang masuk secara tidak langsung menjadi ancaman bagi kelestarian adat istiadat, akan tetapi di desa Tua Tunu ini masyarakat dapat meng-counter hal itu dengan terus merapatkan pemahaman yang sama untuk terus menjaga kelestarian adat istiadat, karena mereka merasakan betul manfaat dari penerapan adat tersebut.

 

9.

Nilai apa saja dari masyarakat kampung adat​​ yang bisa di promosikan sebagai basis pembentuk karakter Bangsa Indonesia?

 

Jawaban :nilai yang dapat dipromosikan sebagai basis pembentukk karakter Bangsa Indonesia dati masyarakat adat desa Tua Tunu ini khususnya dalam tradisi nganggung adalah nilai kepedulian, toleransi, kebersamaan, kedermawanan

 

 

 

 

 

 

 

  • Akhmad Faisal, M.Pd.I (Warga desa Tua Tunu)

No

Pertanyaan​​ /Jawaban

1.

Tradisi apa yang paling melekat pada masyarkat adat desa Tua Tunu ?

 

Jawaban :​​ pada dasarnya banyak tradisi yang diselenggarakan di desa ini hanya saja yang paling sering dilaksankan adalah tradisi nganggung, setahun bisa 20 kali melaksanakan tradisi ini, tergantung acaranya. Seperti peringatan hari besar Islam, upacara kematian, menyambut tamu dan lain-lain.

2.

Menurut anda apa yang menyebabkan tradisi ini (nganggung) tetap terjaga ?

 

Jawaban :​​ menurut saya ada beberapa hal yang menyebabkan tradisi ini masih tetap terjaga, diantaranya :

  • Kuatnya pengaruh tokoh masyarakat dalam membina masyarakat

  • Pemahaman agama masyarakat yang saling mendukung​​ 

  • Selektifnya masyarakat dalam menerima warga baru yang berasal dari luar, terlebih dengan pemahaman agamanya. Jika ia berasal dari luar Islam maka tidak akan diberi celah untuk menyebarkan agamanya. Jika ia muslim tetapi membawa pemahaman Islam yang berbeda dengan apa yang mereka fahami maka pemahaman yang baru akan mereka tolak.

 

3.

Bagaimana aspirasi/antusiasme masyarakat terhadap tradisi nganggung ini?

Jawab :​​ umumnya masyarakat sangat antusias dan mendukung pelaksanaan tradisi nganggung, bahkan animo masyarakat terus meningkat. Hal itu, ditandai dengan makin banyak masyrakat yang bersedekah ketika ada tetangga yang terkena musibah

4.

Bagaimana pengaruh tradisi ini terhadapa pertumbuhan karakter masyarakat, menurut anda?

Jawab :tradisi nganggung menurut saya membentuk karakter masyarakat khususnya di desa Tua Tunu ini semakin berani untuk berderma, dan menghilangnya rasa bakhil dalam diri masyarakat. Sebagai satu contoh, ada masyarakat yang secara perekonomian tidak terlalu mapan tetapi dia tidak segan-segan untuk mengeluarkan rejeki nya untuk berderma dan beribadah  ​​​​ 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3).​​ Pembahasan

Hasil penelitian diatas merupakan penelitian lapangan dengan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif yang berupaya memaparkan tentang tradisi nganggung yang dilaksanakan di desa adat Tua Tunu.​​ 

Setiap masyarakat tentunya memiliki agama sebagai kepercayaan yang mempengaruhi manusia sebagai individu, juga sebagai pegangan hidup. Di samping agama, kehidupan manusia juga dipengaruhi oleh kebudayaan. Kebudayaan menjadi identitas dari bangsa dan suku bangsa. Suku tersebut memelihara dan melestarikan budaya yang ada. Kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia. menurut Alisyahbana; merupakan suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.​​ 

Dalam masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain saling berkaitan hingga menjadi suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya. Tradisi sebagai salah satu bagian dari kebudayaan menurut pakar hukum F. Geny adalah fenomena yang selalu merealisasikan kebutuhan masyarakat. Sebab yang pasti dalam hubungan antar individu, ketetapan kebutuhan hak mereka, dan kebutuhan persamaan yang merupakan asas setiap keadilan menetapkan bahwa kaidah yang dikuatkan adat yang baku itu memiliki balasan materi, yang diharuskan hukum. Kaidah ini sesuai dengan naluri manusia yang tersembunyi, yang tercermin dalam penghormatan tradisi yang baku dan perasaan individu dengan rasa takut ketika melanggar apa yang telah dilakukan pendahulu mereka.​​ 

Menurut Hardjono dalam I Nyoman Beratha memberikan ulasan singkat bahwa tradisi adalah suatu pengetahuan atau ajaran-ajaran yang diturunkan dari masa ke masa. Ajaran dan pengetahuan tersebut memuat tentang prinsip universal yang digambarkan menjadi kenyataan dan kebenaran yang relatif. Dengan demikian segala kenyataan dan kebenaran dalam alam yang lebih rendah itu adalah peruntukan (application) daripada prinsip-prinsip universal.​​ 

Sedangkan menurut Harapandi Dahri, tradisi didefinisikan sebagai berikut:

Tradisi adalah suatu kebiasaan yang teraplikasikan secara terus-menerus dengan berbagai simbol dan aturan yang berlaku pada sebuah komunitas. Awal-mula dari sebuah tradisi adalah ritual-ritual individu kemudian disepakati oleh beberapa kalangan dan akhirnya diaplikasikan secara bersama-sama dan bahkan tak jarang tradisi-tradisi itu berakhir menjadi sebuah ajaran yang jika ditinggalkan akan mendatangakan bahaya.​​ (Beratha 1982)

Tradisi-tradisi tersebut dapat disaksikan pada; ’Upacara Tawar Laut/Ketupat Laut’, ’Tahun Baru Cina’, ’Sembahyang Kubur Cina’, ’Sembahyang Pantai’, ’Kawin Massal’,Perang Ketupat’, ’Mandi Belimau’, ’Sedekah Kampung’,’Rebo Kasan’, ’Nganggung’ dan lainnya yang dilakukan di Kepulauan Bangka Belitung. Tradisi ini dilakukan sebagai pengungkapan atas rasa syukur terhadap anugerah yang telah diberikan oleh Sang Pencipta, yang kental dengan nuansa keagamaan. Pewarisan tradisi tersebut dapat terjadi melalui pertunjukkan upacara adat pada suatu masyarakat.

Sejalan dengan pengertian di atas, upacara di sini merupakan sumber pengetahuan tentang bagaimana seseorang bertindak dan bersikap terhadap suatu gejala yang diperolehnya melalui proses belajar dari generasi sebelumnya dan kemudian harus diturunkan kepada generasi berikutnya.Ritual keagamaan yang dibungkus dengan bentuk tradisi ini dilakukan secara turun temurun dan berkelanjutan dalam periodik waktu tertentu, bahkan hingga terjadi akulturasi dengan budaya lokal. Seperti apa yang diperlihatkan masyarakat Bangka

Nganggung adalah suatu tradisi turun temurun yang hanya bisa dijumpai di Bangka. Karena itu tradisi nganggung dapat dikatakan salah satu identitas Bangka, sesuai dengan slogan Sepintu Sedulang, yang mencerminkan sifat kegotong royongan, berat sama dipikul ringan sama dijinjing.Nganggung atau Sepintu Sedulang merupakan warisan nenek moyang yang mencerminkan suatu kehidupan sosial masyarakat berdasarkan gotong-royong. Setiap bubung rumah melakukan kegiatan tersebut untuk dibawa ke masjid, surau atau tempat berkumpulnya warga kampung. Adapun nganggung merupakan suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam rangka memperingati hari besar agama Islam, menyambut tamu kehormatan, acara selamatan orang meninggal, acara pernikahan atau acara apapun yang melibatkan orang banyak. Nganggung adalah membawa makanan di dalam dulang atau talam yang ditutup tudung saji ke masjid, surau, atau balai desa untuk dimakan bersama setelah pelaksanaan ritual agama. Makanan tersebut dibawa dengan cara di "anggung" (dipapah di bahu) menggunakan dulang yang ditutup dengan tudung saji pandan atau daun nipah khas Bangka yang warnanya semarak dengan motif yang khas pula. Itu sebabnya Kepulauan Bangka Belitung disebut juga "Negeri Sepintu Sedulang". Meski demikian, ada juga beberapa daerah yang membawa makanan tersebut dengan rantang. Meski begitu, tetap saja dinamakan nganggung karena intinya pada saat acara makan-makan bersamanya. Selain untuk menyambut dan merayakan hari-hari besar keagamaan, nganggung juga dilakukan untuk menyambut tamu kehormatan, seperti gubernur, bupati atau tamu kehormatan lainnya. Untuk menghormati tamu istimewa yang datang tersebut. Biasanya masyarakat menyambut dan menjamu tamu secara bergotong royong yaitu dengan tradisi nganggung ini. Nganggung juga sering dilakukan sebagai ungkapan turut berduka cita atas meninggalnya salah satu warga. Pada 7 hari setelah masa berkabung biasanya masyarakat juga melaksanakan ritual tahlilan yang diikuti dengan tradisi nganggung untuk menjaga solidaritas dan turut membantu yang terkena musibah. Dengan tradisi ini kita dapat menunjukkan rasa kepedulian, kebersamaan, gotong royong dan selalu menjaga serta menjalin tali kekeluargaan dan hubungan silaturrahim antara sesama. Dari ritual ini, tercermin betapa masyarakat Bangka menjujung tinggi rasa persatuan dan kesatuan serta gotong royong, bukan hanya dilaksanakan penduduk setempat melainkan juga dengan para pendatang.Jiwa gotong royong masyarakat Bangka cukup tinggi. Warga masyarakat akan mengulurkan tangannya membantu jika ada anggota warganya memerlukanya. Semua ini berjalan dengan dilandasi jiwa Sepintu Sedulang. Jiwa ini dapat disaksikan, misalnya pada saat panen lada, acara-acara adat, peringatan hari-hari besar keagamaan, perkawianan dan kematian. Acara ini lebih dikenal dengan sebutan “Nganggung”, yaitu kegiatan setiap rumah mengantarkan makanan dengan menggunakan dulang, yakni baki bulat besar. Waktu pelaksanaan nganggung biasanya bervariasi , tidak mutlak harus sama antara satu desa dengan desa yang lain , tergantung kesepakatan bersama antara penduduk desa masing-masing. Ada desa yang menyelenggarakan nganggung selepas maghrib , ada yang menyelenggarakannya jam 07.00 .Ada pula yang menyelenggarakan kegiatan ini jam 10.00 pagi , setelah paginya masyarakat bergotong royong membersihkan mesjid .Dan ada pula desa yang melakukan kegiatan nganggung ini pada jam 16.00 , setelah sholat ashar .

Di Kabupaten Bangka, upaya formal yang dilakukan terkait kegiatan nganggung ini bahkan dibentuk dalam sebuah perda bernomor 06/PD/DPRD/1971, yang disebut kegiatan sepintu sedulang.

Berdasarkan definisi budaya nganggung, di ketahui fungi dari nganggung adalah :

1.      Identitas budaya

2.      Warisan budaya yang bernilai

3.      Pembentuk perilaku sosial

4.      Sebagai terapi psikologis dalam bermasyarakat

5.      Pemersatu dalam masyarakat

6.      Manifestasi keberadaan masyarakat yang beradab.

 Dengan tradisi  ini kita dapat menunjukkan rasa solideritas , kepedulian , kebersamaan ,  gotong royong dan selalu menjaga serta menjalin tali kekeluargaan dan hubungan silaturrahim antara sesama .

 

  • SIMPULAN / SARAN​​ 

Nganggung​​ adalah suatu tradisi turun temurun yang hanya bisa dijumpai di Bangka. Karena tradisi nganggung merupakan identitas Bangka, sesuai dengan slogan Sepintu Sedulang, yang mencerminkan sifat kegotong royongan, berat sama dipikul ringan sama dijinjing.​​ 

Nganggung​​ atau Sepintu Sedulang merupakan warisan nenek moyang yang mencerminkan suatu kehidupan sosial masyarakat berdasarkan gotong-royong. Setiap bubung rumah melakukan kegiatan tersebut untuk dibawa ke masjid, surau atau tempat berkumpulnya warga kampung.  Adapun​​ nganggung​​ merupakan suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam rangka memperingati hari besar agama Islam, menyambut tamu kehormatan, acara selamatan orang meninggal, acara pernikahan atau acara apapun yang melibatkan orang banyak.​​ Nganggung​​ adalah membawa makanan di dalam dulang atau talam yang ditutup tudung saji ke masjid, surau, atau balai desa untuk dimakan bersama setelah pelaksanaan ritual agama.​​ 

Dalam acara ini, setiap kepala keluarga membawa dulang yaitu sejenis nampan bulat sebesar tampah yang terbuat dari aluminium dan ada juga yang terbuat dari kuningan. Untuk yang terakhir ini sekarang sudah agak langka, tapi sebagian masyarakat Bangka masih mempunyai dulang kuningan ini. Di dalam dulang ini tertata aneka jenis makanan sesuai dengan kesepakatan apa yang harus dibawa. Kalau​​ nganggung​​ kue, yang dibawa kue,​​ nganggung​​ nasi, isi dulang nasi dan lauk pauk,​​ nganggung​​ ketupat biasanya pada saat lebaran. Dulang ini ditutup dengan tudung saji yang terbuat dari daun, sejenis pandan, dan di cat, tudung saji ini banyak terdapat dipasaran. Dulang ini dibawa ke masjid, atau tempat acara yang sudah ditetapkan, untuk dihidangkan dan dinikmati bersama. Hidangan ini dikeluarkan dengan rasa ikhlas, bahkan disertai dengan rasa bangga.

Namun dalam perkembangannya sekarang, kegiatan​​ nganggung​​ yang masih eksis dipertahankan pada saat memperingati hari besar agama Islam, dan menyambut tamu kehormatan.

Berikut ini nilai-nilai yang dapat​​ di promosikan sebagai basis pembentuk karakter Bangsa Indonesia​​ melalui tradisi nganggung yang berasal dari Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung.

  • Kepedulian

  • Solidaritas​​ 

  • kedermawanan

  • Kebersamaan

  • Tanggung Jawab

  • Ketaatan ibadah​​ 

  • Gotong royong

  • Persatuan dan kesatuan​​ 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bibliography

 

Albertus, Doni Koesoema.​​ Pendidikan Karakter; Strateg Mendidik Anak di Zaman Global.​​ Jakarta: Grasindo, 2010.

Arikunto, Suharsimi.​​ Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.​​ Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Asmani, Jamal Ma'mur.​​ Tuntunan Legkap Metodelogi Praktis Penelitian Pendidikan.​​ Jogjakarta: Diva Press, 2011.

Beratha, Nyoman.​​ Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa.​​ Jakarta: Ghalia , 1982.

Gunawan, Heri.​​ Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi.​​ Bandung: Alfabeta, 2014.

hariyanto, Muchlas samani &.​​ Konsep dan Model Pendidikan Karakter.​​ Bandung: Rosda, 2014.

K.yin, Robert.​​ Studi Kasus Desain Dan Metode.​​ Jakarta: Raja Grafndo Persada, 2006.

Khan, D.Yahya.​​ Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri; Mendongrak Kualitas Pendidikan.​​ Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010.

Moleong, Lexy J.​​ Metodelogi Penelitian Kualitatif.​​ Bandung: Remaja Rosda karya, 2010.

Pinang, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkal.​​ The City of Victory.​​ Pangkal Pinang : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkal Pinang.

Radmila, Samita.​​ Kearifan Lokal:Benteng Kerukunan.​​ Jakarat: Gading Inti Prima, 2013.

Salahudin, Anas.​​ Pendidikan Karakter.​​ Bandung: Pustaka Setia, 2013.

Sugiyono.​​ Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D.​​ Bandung: Alfabeta, 2011.

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN​​ DOKUMENTASI

Pelaksanaan Nganggung di Masjid Raya Tua Tunu, Pangkal Pinang

IMG-20160530-WA0036.jpg

 

 

 

Dulang yang dibawa saat pelaksanaan Nganggung​​ 

IMG-20160531-WA0002.jpg

 

 

 

Masyarakat berdatangan ke Masjid untuk nganggung dengan mengikutsertakan anak-anak, sebagai pembiasaan dan melestarikan tradisi

 

IMG-20160531-WA0007.jpg

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Masjid Raya Tua Tunu, salah satu tempat untuk melaksanakan tradisi Nganggung, di desa Tua Tunu. Kubah masjid menyerupai dulang (tutup saji)