Kajian

Konsep Ikhlas Perspektif Islam

Konsep Ikhlas Perspektif Islam

Oleh : H. Ahmad Irfan, SS.M.Pd.I

  1. PENDAHULUAN

Sesuatu yang bersih dari campuran yang mencemarinya dinamakan sesuatu yang murni. Perbuatan membersihkan dan memurnikan itu dinamakan ikhlas. Allah SWT berfirman dalam QS An Nahl 66 :

         وَإِنَّ لَكُمْ فِى ٱلْأَنْعَٰمِ لَعِبْرَةً ۖ نُّسْقِيكُم مِّمَّا فِى بُطُونِهِۦ مِنۢ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَّبَنًا خَالِصًا سَآئِغًا لِّلشَّٰرِبِينَ

Artinya : “ dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya”.

Apabila suatu perbuatan bersih dari riya’ dan ditujukan bagi Allah SWT, maka perbuatan itu dianggap murni. (Ghazali 2013) Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya. Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ

Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”.

Sehingga ikhlas dapat berarti memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.

B. PEMBAHASAN

Tentang pengertian ikhlas dalam ajaran islam terbagi dalam 2 sudut padang. Pengertian menurut bahasa dan pengertian berdasarkan istilah. Menurut bahasa, pengertian ikhlas artinya tulus dan bersih. Sedangkan menurut istilah, makna dan arti ikhlas adalah mengerjakan suatu kebaikan dengan semata-mata mengharap rida Allah SWT. Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan; yang intinya bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.

Beberapa pendapat para ulam mengenai Ikhlas dapat dijelaskan dibawah ini :

Al Susi mengatakan , ikhlas itu berarti tidak melihat ikhlas. Siapa yang menyaksikan ikhlas dalam ikhlasnya, maka ikhlasnya membutuhkan ikhlas (pemurnian).

Al Junayd berkata “ Ikhlas berarti memurnikan amal dari kekeruhan-kekeruhan.

Al Fudhayl berkata “ Meninggalkan suatu amal karena manusia adalah ria, dan mengerjakan suatu amal karena manusia adalah syirik, dan ikhlas ialah bila Allah membebaskan dari keduanya.

Hakikat Niat

Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya. Rasulullah Saw telah memperingatkan dalam hadist berikut ini :

رُبَّ صائمٍ لَيسَ لَهُ مِنْ صِياَمِهِ إِلاَّ الجُوْعِ وَرُبَّ قاَئِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إلاَّ السهْرِ (رواه ابن ماجة)

Artinya “Banyak orang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar.Banyak orang bangun shalat malam, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali keterjagaan saja”.

Untuk itu setidaknya ada dua syarat yang harus dipenuhi bila amal ibadah dapat diterima Allah Swt, yaitu dalam melakukan amal yang dituju hanya ingin mencapai ridha Allah dan dalam melakukan amal ibadah harus mengikuti ketentuan yang diberikan Allah dalam Al qur’an dan hadist Rasulullah dalam sunahnya. Apabila salah satu dari dua syarat tersebut tidak dipenuhi, maka amal ibadah tidak akan dikatakan amal shalih, amal ibadah tidak diterima Allah Swt, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt berikut ini :

Artinya: “ Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.

Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Allah Swt hanya menerima “amal shalih” yang dilakukan dengan ikhlas hanya karena Allah Swt, bukan karena motivasi lain. Yang dimaksud “amal shalih” itu sendiri adalah semua amalan yang sesuai dengan ketentuan syara’. (al-‘Awayisyah 2015)

Setiap amal ibadah harus didahului dengan niat, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

إِنَّمَا الأَعْماَلُ باِلنِّيَّاتِ وَإِنَّماَ لِكُلِّ امرِئٍ مَانَوَى. فَمنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهجْرَتُهُ وَرسوله. ومنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْياَيُصِيْبها أوِامرأةٍيَنْكِحُهاَ فهجرته إلى ماهجر إليهِ

Artinya “Sesungguhnya seluruh amal ibadah bergantung pada niatnya, bagi setipa orang apa yang ia niatkan. Siapa Hijranya adalah karena Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya karema Allah dan Rasul. Sedangkan siapa hijrahnya adalah karena dunia yang ia ingin miliki atau perempuan yang ia ingin nikahi, maka hijrahnya karena hal itu”.

Diriwayatkan bahwa sebab keluarnya sabda nabi ini adalah: seseorang laki-laki berhijrah dari Mekkah ke Madinah demi seorang wanita berjuluk Umm Qays yang ia cintai. Orang inipun dijuluki muhajir umm Qays. Inilah mengapa yang disebut dalam hadis adalah wanita yang ingin ia nikahi.

Kata “niat” dalam istilah orang Arab hampir sinonim dengan “kehendak” (qashd) dan “keinginan” (iradah). Niat adakalanya dipahami sebagai salah satu macam keinginan, dan adakalanya dipahami semakna dan keinginan. Akan tetapi sebagian berpendapat niat itu lebih spesifik dari keiginan, karena keinginan itu berkaitan dengan perbuatan sendiri ataupun perbuatan orang lain, sedangkan niat niat hanya berkaitan dengan perbuatan sendiri. (Nahrowi 2011)

Agar niat memenuhi harapan, maka niat harus dilakukan dengan tulus ikhlas karena Allah semata. Sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Swt Qs Al Bayyinah: 5 berikut :

              وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

Artinya :” Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”

Niat, iradat, dan kehendak adalah kata-kata yang mempunyai satu makna, yakni keadaan dan sifat hati yang mengandung kaitan antara ilmu (pengetahuan) dan amal. Pengetahuan seperti pendahuluan dan syarat. Sedang amal mengikutinya. Niat yang berart keinginan berada di tengah-tengah pengetahuan yang mendahului dan amal yang mengikuti. Seseorang mengetahui sesuatu maka tibullah keinginan untuk melakukan apa yang ia ketahui. Allah Swt hanya melihat hati. Artinya, Dia lihat niat dalam hati. Niat adalah ruh amal. Seperti jasad tidak bernilai tanpa ruh, demikian pula amal, ia tidak bernilai tanpa niat. Kalau saja tempat niat bukan di hati, nilai hati tidak diketahui. Niat juga pengendali hati.

Rasulullah Saw bersabda, “Niat seorang Mukmin lebih baik daripada amalnya dan niat seorang fasik lebih buruk dari amalnya”. Para ulama berbeda pendapat mengenai hadist ini, ada yang berpendapat bahwa niat adalah amalan yang tersembunyi, sedangkan amal dapat dilihat pula oleh makhluk. Ada juga yang berpendapat Allah Swt mengaruniakan niat kepada seorang hamba dalam keaadaan murni, sedangkan amal dikaruniakan dengan keadaan tidak suci. Sebagian ulama berpendapat mengenai hadist tersebut bahwa niat seorang hamba untuk melakukan amal shaleh, tetapi karena satu dan lain hal, ia tidak sempat melakukan nya, adalah lebih baik daripada amal tanpa niat. (Makki 2015)

Hakikat Ikhlas

Kesungguhan dan keikhlasan adalah wujud iman dan Islam. Penganut agama Islam terbagi dua: mukmin dan munafik. Keduanya dibedakan oleh kesungguhan, sebab dasar kemunafikan adalah kepura-puraan. Ikhlas merupakan inti ajaran Islam, sebab, islam berarti berarti pasrah atau berserah diri kepada Allah, bukan yang lain. Dasar Islam adalah kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah. Kesaksian ini meniscayakan kedudukan hanya kepada-Nya semata dan tidak kepada selainnya. Allah Swt berfirman :

85. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.

Ikhlas sering diartikan tidak ria dalam beramal. Ria adalah salah satu perwujudan sifat nifak (munafik), yaitu berusaha menampilkan suatu sikap yang bertentangan dengan kenyataannya. Lawan Ria adalah Ikhlas atau ketulusan hati yang merupakan dasar keberagamaan. Ikhlas berarti berlaku dan bersikap selaras dengan iman.

Perbuatan seseorang pada dasarnya terbagi dua : lahir dan batin. Perbuatan batin adalah aktivitas kalbu yang tak mungkin dirasuki perbuatan ria, sebab orang lain tidak mungkin melihat atau mengetahui aktivitas kalbu seseorang kecuali jika diceritakan agar dihormati, dikagumi, dan dipatuhi orang lain. Maksud hina ini dimaksudkann untuk mengambil keuntungan dan menghindari kerugian. Perbuatan lahir juga terbagi dua : aktivitas yang bisa dirahasiakan dan aktivitas yang tak bisa dirahasiakan. Kedua aktivitas ini sangat rentan dengan ria. Adapun motivasi hawa nafsu terhadap ria adalah memperoleh penghormatan, mendapatkan keuntungan, dan mencegah kerugian. Inilah motivasi dibalik ria yang kerap merusak amal orang-orang shaleh. Hawa nafsu telah membutakan mata batin, sehingga mereka tidak bisa mengenali ria. Sebagian besar manusia tidak dapat mendeteksi ria karena sangat halus. Besarnya hawa nafsu dapat membutakan mata hati dan merusak aktivitas kalbu, berbeda dengan maksiat lahiriah yang terlihat jelas dan mudah dirasakan sehingga semua orang dapat mengetahuinya. (Muhasibi 2013)

Masalah ikhlas merupakan masalah yang sulit, sehingga sedikit sekali perbuatan yang dikatakan murni ikhlas karena Allah. Dan sedikit sekali orang yang memperhatikannya, kecuali orang yang mendapatkan taufiq (pertolongan dan kemudahan) dari Allah. Adapun orang yang lalai dalam masalah ikhlas ini, ia akan senantiasa melihat pada nilai kebaikan yang pernah dilakukannya, padahal pada hari kiamat kelak, perbuatannya itu justru menjadi keburukan. Merekalah yang dimaksudkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

47. dan Sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai apa yang ada di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. 48. dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya.

Membersihkan diri dari hawa nafsu yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan niat dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak mudah. memerlukan usaha yang maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu masuk bagi setan ke dalam jiwa, membersihkan hati dari unsur riya’, kesombongan, gila kedudukan, pangkat, harta untuk pamer dan lainnya. Sulitnya mewujudkan ikhlas, dikarenakan hati manusia selalu berbolak-balik. Setan selalu menggoda, menghiasi dan memberikan perasaan was-was ke dalam hati manusia, serta adanya dorongan hawa nafsu yang selalu menyuruh berbuat jelek. Karena itu kita diperintahkan berlindung dari godaan setan. Allah berfirman,

Artinya : Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al A’raf : 200].

Jadi, solusi ikhlas ialah dengan mengenyahkan pertimbangan-pertimbangan pribadi, memotong kerakusan terhadap dunia, mengikis dorongan-dorongan nafsu dan lainnya. Dan bersungguh-sunguh beramal ikhlas karena Allah, akan mendorong seseorang melakukan ibadah karena taat kepada perintah Allah dan Rasul, ingin selamat di dunia-akhirat, dan mengharap ganjaran dari Allah.

Upaya mewujudkan ikhlas bisa tercapai, bila kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jejak Salafush Shalih dalam beramal dan taqarrub kepada Allah, selalu mendengar nasihat mereka, serta berupaya semaksimal mungkin dan bersungguh-sungguh mengekang dorongan nafsu, dan selalu berdo’a kepada Allah Ta’ala.

Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku ikhlas, kedudukan dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas kaitannya dengan kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan. Yang pokok dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya amal. Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat yang tidak akan di terima di sisi Allah, kecuali dengan keduanya. Pertama. Niat dan ikhlas karena Allah. Kedua. Sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan KitabNya atau yang dijelaskan RasulNya dan sunnahnya. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, sebagaimana hal ini ditunjukan dalam firmanNya:

وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb- nya. [Al Kahfi : 110].

Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, kemudian Dia memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah semata, tidak menghendaki selainNya. Berikut ini tingkatan manusia yang ikhlas dalam beribadah : (: http://definisi-dalil-dan-pendapat-ulama.html#ixzz45em5M1gg 2011)

  1. Iklhas Mubtadi’ : Yakni orang yang beramal karena Allah, tetapi di dalam hatinya terbesit keinginan pada dunia. Ibadahnya dilakukan hanya untuk menghilangkan kesulitan dan kebingunan. Ia melaksanakan shalat tahajud dan bersedekah karena ingin usahanya berhasil. Ciri orang yang mubtadi’ bisa terlihat dari cara dia beribadah. Orang yang hanya beribadah ketika sedang butuh biasanya ia tidak akan istiqamah. Ia beribadah ketika ada kebutuhan. Jika kebutuhannya sudah terpenuhi, ibadahnyapun akan berhenti.
  2. Ikhlas Abid : Yakni orang yang beramal karena Allah dan hatinya bersih dari riya’ serta keinginan dunia. Ibadahnya dilakukan hanya karena Allah dan demi meraih kebahagiaan akhirat, menggapai surga, takut neraka, dengan dibarengi keyakinan bahwa amal ini bisa menyelamatkan dirinya dari siksaan api neraka. Ibadah seorang abid ini cenderung berkesinambungan, tetapi ia tidak mengetahui mana yang harus dilakukan dengan segera (mudhayyaq) dan mana yang bisa diakhirkan (muwassa’), serta mana yang penting dan lebih penting. Ia menganggap semua ibadah itu adalah sama.
  3. Ikhlas Muhibb : Yakni orang yang beribadah hanya karena Allah, bukan ingin surga atau takut neraka. Semuanya dilakukan karena bakti dan memenuhi perintah dan mengagungkan-Nya.
  4. Ikhlas Arif, yaitu orang yang dalam ibadahnya memiliki perasaan bahwa ia digerakkan Allah. Ia merasa bahwa yang beribadah itu bukanlah dirinya. Ia hanya menyaksikan ia sedang digerakkan Allah karena memiliki keyakinan bahwa tidak memiliki daya dan upaya melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan.

Perkataan Para Ulama Tentang Ikhlas

“Ikhlas adalah inti amal dan penentu diterima-tidak-nya amal di sisi Allah yang maha tahu. Amal tanpa ikhlas bagaikan kelapa tanpa isi, raga tanpa nyawa, pohon tanpa buah, awan tanpa hujan, anak tanpa garis keturunan, dan benih yang tidak tumbuh”

Syekh Abu Thalib al-Makki

“Dalam beramal di dunia ini, janganlah kamu meninggalkan keikhlasan karena Allah Semata. Amal ikhlaslah yang akan mendekatkanmu kepada-Nya dan memutuskanmu dari selain-Nya”

Imam al-Junayd al-Baghdadi

“ Setiap amal tanpa keikhlasan ibarat kulit biji yang tak berisi, ibarat keranda tak bernyawa, dan ibarat gambar tak bermakna”

Syekh Abdul Qadir al-Jaylani  

“Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat”

Abdullah bin Mubarak

“Amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas dan tanpa mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaikan seorang musafir yang membawa bekal berisi pasir. Bekal tersebut hanya memberatkan, namun tidak membawa manfaat apa-apa”

Ibnul Qayyim

“Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah”

Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili

“Meninggalkan suatu amal karena orang lain adalah riya’. Sedangkan beramal karena orang lain adalah syirik. Adapun ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya”

Fudhail bin Iyadh

C. KESIMPULAN

Ilmu ikhlas adalah ilmu yang lain dari yang lain. Orang yang merasa mendapatkannya boleh jadi telah kehilangannya pada saat yang sama. Orang yang mengklaim memahaminya dengan mahir berarti dia tidak menguasainya. Dan orang yang mengaku-aku bisa mengajarkannya adalah orang yang masih perlu belajar lagi tentangnya.

Menyerahkan diri kepada tuhan. Menjalani hidup hanya untuk-Nya di semua bidang kehdupan. Itulah inti ikhlas-ruh segala amal. Setidaknya ada lima aspek ikhlas yang harus ditempuh bagi seorang muslim: (1) ikhlas dalam arti pemurnian agama dari agama-agama lain, (2) ikhlas dalam arti pemurnian ajaran agama dari hawa nafsu, (3) ikhlas dalam arti pemurnian amal dari bermacam-macam penyakit dan noda yang tersembunyi, (4) ikhlas dalam arti pemurnian ucapan dari kata-kata bathil, dan kata-kata bualan, dan (5) ikhlas dalam arti pemurnian akhlak dengan mengikuti apa yang di ridhai tuhan sang pemilik jiwa.

Niat, iradat, dan kehendak adalah kata-kata yang mempunyai satu makna, yakni keadaan dan sifat hati yang mengandung kaitan antara ilmu (pengetahuan) dan amal. Pengetahuan seperti pendahuluan dan syarat. Sedang amal mengikutinya. Niat yang berart keinginan berada di tengah-tengah pengetahuan yang mendahului dan amal yang mengikuti. Seseorang mengetahui sesuatu maka tibullah keinginan untuk melakukan apa yang ia ketahui. Allah Swt hanya melihat hati. Artinya, Dia lihat niat dalam hati. Niat adalah ruh amal. Seperti jasad tidak bernilai tanpa ruh, demikian pula amal, ia tidak bernilai tanpa niat. Kalau saja tempat niat bukan di hati, nilai hati tidak diketahui. Niat juga pengendali hati.

Bibliography

: http://definisi-dalil-dan-pendapat-ulama.html#ixzz45em5M1gg. April Selasa, 2011. : http://cafe-islamicculture.blogspot.com/2011/10/definisi-dalil-dan-pendapat-ulama.html#ixzz45em5M1gg (accessed April Selasa, 2016).

al-‘Awayisyah, Husein. Ikhlas Kunci Utama Diterimanya Amal Ibadah. Jakarta: Al Mawardi Prima, 2015.

Ghazali, Al. Terjemahan Ringkas Ihya’ Ulumuddin. Gresik: Al Furqon, 2013.

Makki, Syekh Abu Thalib al. Rahasia Ikhlas. Jakarta: Zaman, 2015.

Muhasibi, Al Harits Al. Belajar Ikhlas. Jakarta: Zaman, 2013.

Nahrowi, Izza Rohman. Ikhlas Tanpa Batas. Jakarta: Zaman, 2011.

About the author

H. Ahmad Irfan, S.S, M.Pdi

Add Comment

Click here to post a comment