SUMBER HUKUM ISLAM
Oleh : H. Ahmad Irfan, SS.M.Pd.I
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER NILAI
Pengertian dan Nama Al-Qur’an
Pengertian
Al-Qur’an berasal dari kata qaraa yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca. Secara termiologis Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi terakhir Muhammad SAW, melalui perantaraan malaikat jibril. Al-Qur’an tertulis dalam mushaf dan sampai kepada manusia secara mutawatir. Membacanya bernilai ibadah, diawali dengan surat Al-Fatihah dan ditutupi dengan surat An-Nas.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa :
Pertama,Al-Qur’an adalah kalamullah atau firman Allah, bukan ucapan Nabi atau manusia lainnya. Tidak ada sepatah kata pun ucapan nabi dalam Al-Qur’an. Pada saat Al-Qur’an diturunkan, nabi melarang para sahabatnya untuk menghafal atau mencatat, apalagi mengumpulkan ucapannya, beliau hanya menyuruh menghafal dan menuliskan Al-Qur’an. Hal semata-mata untuk menjaga kemurnian firman Allah. Dngan demikian, tidak ada bukti sama sekali pandangan kaum orientalis yang mengatakan Al-Qur’an sebagai karangan Nabi.
Kedua,Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad, yaitu Muhammad bin Abdullah yang lahir di mekah pada tahun 571 M, Rasul yang terakhir, penutup segala wahyu yang diturunkan Allah ke muka bumi, sebagaiman firman-Nya :
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Ahzab, 33:40)
Ketiga,Al-Qur’an diturunkan Allah melalui peraturan malaikat Jibril secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari kepada Nabi Muhammad.
Keempat,Al-Qur’an dikumpulkan dalam mushaf yang sejak masa turunnya dihafalkan dan ditulis oleh para sahabat kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf yang seluruhnya berisi 6.666 ayat dan 114 surat.
Kelima,Al-Qur’an ini sampai kepada umat islam secara mutawir, atau terus menerus diturunkan dai generasi ke generasi dalam keadaan tetap dan terjaga, baik huruf maupun kalimat-kalimat yang ada didalamnya, sehingga keaslian Al-Qur’an tetap terjamin epanjang masa.
Keenam, membaca Al-Qur’an bernilai ibadah bagi pembaca dan pendengarannya. Hal ini berarti membaca Al-Qur’an merupakan bentuk kegiatan ritual yang bernilai ibadah, sekalipun pembaca atau pendengarannya tidak mengetahui arti yang dibacanya. Iman Kepada Kitab Allah “ Al-Qur’an
Ketujuh,Al-Qur’an dimulai dengan surat Al- Fatihah dan diakhiri denga surat An-Nas. Ini mengandung arti bahwa susunan surat dan ayat Al-Qur’an bersifat tetap sejak diturunkannya sampai akhir zaman. Sejak dirunkannya sampai sekarang yang telah berusia hampir lima belas abad. Isi, susunan surat, ayat dan bacaan Al-Qur’an sama. Tidak ada dan tidak akan pernah ada versi lain.
Nama-nama Al-Qur’an
Al-Qur’an, kata Al-Qur’an sebagai nama kitab ini disebutkan dalam firman Allah:
لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnyatunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaanitu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (Q.S.Al-Hasyr: 21)
Al-Furqan artinya pembeda atau pemisah, yaitu kitab yang membedakan antara yang hak dan batil. Penamaan ini terungkap dalam firman Allah:
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadipemberi peringatan kepada seluruh alam, (Q.S. Al-Furqan, 25:1)
Adz-Dzikra artinya peringatan, yaitu kitab yang berisi peringatan Allah kepada manusia. Penamaan ini terungkap dalam firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.(Q.S. Al-Hijr, 15:9)
Al-Kitab artinya tulisan atau yang ditulis, yaitu kitab yang ditulis dalam mushaf. Penamaan ini terungkap dalam firman Allah:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا ۜ
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Qur’an) dan Dia tidakmengadakan kebengkokan di dalamnya. (Q.S. Al-Kahfi, 18:1)
Fungsi dan Peran Al-Qur’an
Al-Qur’an Diturunkan sebagai Petunjuk bagi Manusia
Hidup manusia di uka bumi bertujuan untuk mencapai kebahgiaan. Setiap orang memiliki penilaian tentang kebhagiaan yang hendak dicapainya, sesuai dengan pandangan dasarnya dalam memelihara kehidupan. Kaum materialistis yang memendang hidup sebagai materi, mengarahkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan materialnya, berupa kekayaan dan lain-lain yang bersifat material. Kebahagiaan bagi mereka terdapat pada banyaknya materi yang diperoleh.
Al-Qur’an memberikan petunjuk kearah pencapaian kebahagiaan yang hakiki, yaitu kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan yang hendak dicapai bukanlah kebahagiaan berdasarkan perkiraan pikiran manusia saja, melainkan kebahagiaan yang abadi. Untuk mencapai kebahagiaan yang abadi itu, Al-Qur’an memberikan petunjuk yanh jelas, yaitu meletakkan seluruh aspek kehidupan dalam kerangka ibadah kepada Allah. Firman Allah :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Adz-Dzariyat, 51:56)
Apabila hidup telah diletakkan dalam penghambaan yang mutlak kepada Allah, maka ridha Allah akan turun dan kebahagiaan yang hakiki akan dapat dicapai.
Al-Qur’an Memberikan Penjelasan Terhadap Segala Sesuatu
Al-Qur’an diturunkan ke muka bumi untuk memberikan penjelasan tentang segala sesuatu, sehingga manusia memiliki pedoman dan arahan yang jelas dalam melaksanakan tugas hidupnya sebagai makhluk Allah. Firman Allah :
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
Tidaklah Kami luputkan (tinggalkan) dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) sesuatu pun. (Q.S. Al-Anam, 6:38)
Berdasarkan ayat diatas tampak bahwa Al-Qur’an berfungsi memberikan penjelasan kepada manusia tentang segala sesuatu. Segala sesuatu bukanlah apa saja yang ada di bumi ini dijelaskan oleh Al-Qur’an, karena Al-Qur’an bukan kamus atau encyclopedi, tetapi Al-Qur’an memberikan dasar-dasar yang bersifat global dan mendasar. Oleh karena itu, manusia didorong untuk mengembangkan kemampuannya umtuk menggali isi pesan yang terkandung di dalmnya. Hal ini berarti bahwa dalam Al-Qur’an telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, dan pokok-pokok segala sesuatu yang dapat membawa manusia ke arah kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah menjelakan dalam ayat lain :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (Q.S. An-Nahl, 16:38)
Dalam ayat tersebut dikemukakan pula bahwa Al-Qur’an berfungsi memberikan petunjuk, rahmat dan menyampaikan kabar gembira kepada manusia yang berserah diri. Al-Qur’an menjelaskan apa yang tidak dapat diketahui manusia, seperti hal-hal yang gaib. Memberi petunjuk berarti membimbing dan mengarahkan manusia pada tujuan yang seharusnya dicapai dalam kehidupannya, sehingga tidak salah dalam memilih jalan yang akan ditempuhnya, yaitu mencapai keridhaan Allah SWT. Memberi rahmat adalah Al-Qur’an membawa manusia ke dalam kasih sayang Allah, sehingga apa yang dilakukan manusia senatiasa berada di jalan yang disenangi Allah. Bagi alam lingkungannya, manusia menjadi subjek yang memberikan manfaat melalui kasih sayang yang menjadi pendorongnya.
Adapun yang dimaksud dengan kabar gembira adalah bahwa Al-Qur’an memberikan harapan-harapan masa depan bagi orang-orang yang beriman, tunduk dan patuh kepada aturan Allah, yaitu janji Allah untuk memberikan kesenangan dan kenikmatan yang tiada tara. Seorang muslim dapat hidup optimis dan tidak putus asa dalam mennghadapi persoalan-persoalan hidup yang dihadapinya. Ini juga merupakan kabar gembira bagi orang yang beriman, bahwa iman dan perbuatan baik mereka akan dibalas dengan surga yang penuh nikmat.
Al-Qur’an sebagai Penawar Jiwa yang Haus (Syifa)
Al-Qur’an berfungsi juga sebagai obat (penawar) bagi manusia, sebagaimana firman Allah :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Q.S. Al-Israa, 17:82)
Syifa artinya obat, penawar atau penyembuh. Sasaran dari penyambuhan ini adalah hati, yaitu memberikan penyembuhan terhadap segala penyakit hati yang membuat manusia menderita penyakit rohaniah. Penyakit ini dapat menghinggapi manusia setiap saat dalam bentuk kecemasan, kegelisahan, dan kekecewaan yang dapat mengakibatkan kekosongan dan kegoncangan jiwa. Disini Al-Qur’an dapat menajadi faktor penyembuh batin, penawar dari kehausan dan kelelahan rohaniah, serta memberikan ketenangan dan ketentraman jiwa.
Kodifikasi Al-Qur’an
Kodifikasi Pada Masa Rasulullah
Al-Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Ketika Nabi berada di mekah turun ayat-ayat yang kemudian disebut ayat Makiyah dan pada saat Nabi berada di Madinah turun ayat-ayat yang disebut ayat Madaniyah.
Setiap ayat Al-Qur’an turun langsung dihafalkan di luar kepala oleh nabi dan diajarkan pula pada kepada para sahabat dan langsung dihafalkan juga oleh mereka. Selanjutnya para sahabat yang hafal Al-Qur’an disuruh pula oleh nabi untuk mengajarkannya kepada yang lain.
Pada masa rasul para sahabat pun menuliskan ayat yang turun pada alat-alat tulis yang mereka miliki, seperti pelepah kurma, batu-batu tipis, dedaunan, kulit binatang, kemudian disimpan di rumah Rasul.
Kodifikasi Al-Qur’an pada dasarnya telah dilakukan pada saat Rasul masih hidup. Pada setiap kali ayat Al-Qur’an turun, Nabi memberikan petunjuk kepada para sahabat dan sekretarisnya dalam penyimpanan ayat dan surat dalam susunan ayat-ayat Al-Qur’an. Nabi mengumpulkan ayat-ayat yang ditulis oleh para penulis wahyu dan memerintahkan Ali untuk menghimpunnya. Hal ini diungkapkan dalam riwayat Ali bin Ibrahim yang diterima dari Abu Bakar Al-hadharami dari Abu Abdullah Ja’far bin Muhammad, katanya : bahwa Rasulullah Saw. Bersabda kepada Ali : ” Wahai Ali, sesungguhnya Al-Qur’an terdapat di belakang tempat tidurkku yang tertulis dalam suhuf (lembaran) sutra dan kertas. Ambillah dan kumpulkanlah., dan jangan sampai hilang, sebagaimana kaum Yahudi menghilangkan Tauarat”. Kemudian Ali pergi untuk mengumpulkannya pada kain kuning dan menutupinya. Dengan demikian jelaslah bahwa kodifikasi Al-Qur’an telah dilakukan secra sempurna pada masa Rasulullah. Hanya, pada masa rasul pengumpulan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf. Susunan ayat-ayat dan surat-suratnya belum dilakukan, karena pada saat itu turunya Al-Qur’an masih berlangsung yang kadang-kadang dari tertentu tersela oleh turunnya ayat-ayat yang lain, sebelum atau sesudah ayat tersebut. Kemudian wahyu turun yang terdiri atas ayat-ayat yang merupakan bagian dari surat pertama, hingga akhirnya sempurna wahyu diturunkan.
Setelah wahyu diturunkan secara sempurna tidak lama kemudian Rasulullah wafat, yaitu pada tahun diturunkannya ayat Al-Qur’an yang terakhir. Rupanya tidak cukup waktu untuk mengumpulkan tulisan dan menyusun Al-Qur’an dalam satu mushaf. Namun demikian, sebelum wafat, Rasulullah mengumumkan kepada sejumlah sahabat tentang penyusunan Al-Qur’an, sehingga para huffadz (penghafal Al-Qur’an) bisa membacanya secara sempurna dan tersusun sebagaimana yang diperintahkan Rasul melalui pengajaran Jibril pada penurunan wahyu yang terakhir. Hal ini menjadi jaminan tersusunnya Al-Qur’an dalam satu mushaf. (Suryana 1997)
Kodifikasi Pada Masa Para Khalifah
Pada masa sahabat, Al-Qur’an sudah tertulis, tetapi belum terkumpul dalam satu mushaf, ayat-ayat itu masih berserakan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar RA, Umar bin Khatab menyarankan agar Al-Qur’an ditulis dan dikumpulkan dalam satu mushaf. Pada awalnya Abu Bakar menolak dengan alasan Rasul pun tidak melakukannya. Setelah keperluan itu dirasakan mendesak apalagi setelah terjadinya peperangan peperangan melawan orang-orang murtad yang banyak menewaskan para penghafal Al-Qur’an, Abu Bakar memerintahkan Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, dan Umayah bin Kaar serta Utsman bin Affan untuk menulis dan membukukannya. Seteladisusun, mushaf itu disimpan oleh Abu Bakar hingga wafat. Kemudian dipegang oleh Umar bin khatab, dan setelah Umar wafat disimpan oleh Hafsah binti Umar.
Khalifah Utsman menggandakan mushaf Al-Qur’an menjadi 5 buah. Beliau mengirimkannya keberbagai daerah sebagai rujukan dan dasar pemerintahan di daerah-daerah kedaulatan Islam. Sejak saat itu mushaf Al-Qur’an tersebut menjadi rujukan bagi penulisan mushaf selanjutnya, dan tersebar keseluruh dunia isalm sampai sekarang. Al-Qur’an tersebar diseluruh dunia, tidak terdapat perbedaan didalamnya dari mushaf terdahulu.
Kandungan Al-Qur’an
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat, 6666 ayat, 74437 kalimat, dan 325345 huruf, mengandung pokok-pokok berbagai hal di dalamnya. Kelengkapan kandungan Al-Qur’an diterangkan sendiri di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
Tidaklah Kami luputkan (tinggalkan) dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) sesuatu pun. (Q.S. Al-Anam, 6:38)
Dalam ayat di atas dapat diketahui bahwa di dalam Al-Qur’an terkandung segala sesuatu yang menjadi pokok-pokok segala aspek kehidupan manusia. Maksud segala sesuatu pada ayat di atas adalah bahwa Al-Qur’an memberikan prinsip-prinsip dasar bagi manusia dalam mengatur kehidupannya di dunia yang sejalan dengan arah yang seharusnya dicapai untuk mendapatkan kebahagian yang hakiki di dunia dan akhirat.
Secara umum isi kandungan Al-Qur’an terdiri atas :
Pokok-pokok keyakinan atau keimanan yang melahirkan teologi atau ilmu kalam
Pokok-pokok aturan atau hukum yang melahirkan ilmu hukum, syariat atau ilmufiqih
Pokok-pokok pengabdian kepada Allah ( ibadah )
Pokok-pokok aturan tingkah laku ( akhlak )
Petunjuk tentang tanda-tanda alam yang menunjukan adanya Tuhan
Petunjuk mengenai hubungan golongan kaya dan miskin
Sejarah para nabi dan umat terdahulu
Keistimewaan Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya. Ia merupakan sumber yang tidak pernah kering bagi para pencari kebenaran, menjadi rujukan para ahli bahasa, sumber kajian para ahli fuqaha, dan sumber argumentasi para ahli hukum. Al-Qur’an juga menjadi kajian yang tidak pernah habis bagi ahli sosiologi, ekonomi dan politik, memberikan inspirasi bagi penyair dan pujangga.
Al-Qur’an merupakan satu-satunya kitab yang berbicara segala macam topik. Ia mengisahkan masa lampau, masa kini, dan menggambarkan masa depan. Keistimewaan Al-Qur’an secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:
Keistimewaan bahasa Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab yang fasih. Sejak masa turunnya sampai sekarang tidak ada yang dapat menandingi ketinggian dan keindahan bahasanya. Al-Qur’an berisi 77.439 kata, 323.015 huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan pandangannnya,maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya. Misalnya kata hayat, yang artinya hidup berulang sebanyak 145 kali sama dengan berulangnya kata maut. Kata malaikat terulang sama jumlahnya dengan kata dunia, yaitu 115 kali. Kata malaikat terulang 88 kali sama dengan terulangnya kata setan. Demikian pula kata yaum yang artinnya hari diulang dalam Al-Qur’an sebanyak 365 kali, yaitu jumlah hari dalam setahun, kata syahr yang artinya bulan diulang sebanyak 12 kali, sama dengan bulan dalam satu tahun.
Al-Qur’an menembus seluruh waktu, tempat dan sasaran
Kemukjizatan Al-Qur’an dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Al-Qur’an berbicara tentang manusia secara keseluruhan tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa dan bahasa, firman-Nya :
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا...
Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua... (Q.S. Al-A’raf:158)
Dari segi waktu, Al-Qur’an berbicara tentang masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Al-Qur’an berbicara tentang masa lalu berupa kisah-kisah para Nabi dan masyarakat terdahulu sebagai gambaran dan cermin baik berupa kesuksesan maupun kegagalan masyarakat masa lalu, agar menjadi pelajaran masa kini dan masa yang akan datang.Al-Qur’an mengoreksi kesalahan umat terdahulu yang telah menyimpangkan ayat ayat suci yang menimbulkan mala petaka bagi mereka akibat kesalahan dan kesombongannya. Al-Qur’an memberi bukti bagi manusia yang hidup pada masa kini masa yang akan datang tentang kebenaran firman dan janji Allah. Misalnya, Al-Qur’an menggambarkan kesombongan Fir’aun yang mengaku tuhan, kemudian mati secara menggenaskan dengan ditenggelamkan di laut Merah, sedangkan mayatnya (tubuhnya) diselamtakan Allah untuk menjadi pelajaran kepada manusia sebagaimana firman-Nya :
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً ۚ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.(Q.S. Yunus, 10:92)
Isyarat Al-Qur’an tentang tubuh firaun itu, ternyata terbukti dengan ditemukannya mayatnya pada abad kedua puluh. Sekarang mayat (mummi) nya masih tersimpan dan dapat dilihat di musium Mesir.
Dari segi materi, Al-Qur’an berbicara tentang segala segi kehidupan manusia, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Manusia diberi pengarahan dan bimbingan tentang prinsip-prinsip dasar yang dapat dijadikan sebagai pijakan utama. Oleh karena itu, tidak ada kitab suci yang berbicara segala hal tentang kehidupan manusia, kecuali Al-Qur’an.
Al-Qur’an juga merupakan satu-satunya kitab suci yang paling banyak dibaca orang dalam sejarah kehidupan manusia, pada berbagai masa dan berbagai bangsa. Bacaan Al-Qur’an dikumandangkan setiap waktu oleh jutaan bahkan milyaran orang diseluruh dunia dengan bacaan yang teratur dan tertib. Tidak ada kitab suci yang diperlakukan seperti itu, kecuali Al-Qur’an.
Jika diperhatikan dari segi sejarah, maka tidak ada satu kitab suci yang tidak pernah berubah satu huruf pun dalam kurun waktu ratusan tahun kecuali Al-Qur’an. Hingga sekarang di kalangan umat islam di seluruh dunia tidak ada pertentangan mengenai Al-Qur’an. Ia merupakan satu-satunya pegangan yang sama di kalangan umat islam. Semua ini merupakan mukjizat terbesar sepanjang sejarah manusia sampai hancurnya alam.
Segi tempat, Al-Qur’an berbicara mengenai semua wilayah dan kawasan di daratan, lautan, maupun angkasa raya yang mendorong para pembacanya untuk menyelidiki dan menelitinya dengan seksama. Al-Qur’an betul-betul menunjukkan misinya ynag bersifat universal. Bahkan Al-Qur’an mengarahkan misinya bukan hanya kepada manusia yang bersifat materi, tetapi juga pada makhluk yang bersifat gaib, yaitu jin.
Keistimewaan Al-Qur’an dalam kaitan ilmu pengetahuan dan teknologi mulai diungkapkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Dalam seminar mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang IPTEK di IPTN terungkap secara jelas, pandangan Al-Qur’an tentang IPTEKmemberikan petunjuk dan isyarat yang mengarahkan manusia pada pencapaian derajat khalifatullah fil ardh, kesejahteraan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Menjelang abad dua puluh satu ini Al-Qur’an mulai diselediki oleh para ahli bukan hanya dari segi hukum, melainkan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Isyarat-isyarat ayat-ayat Al-Qur’an dalam berbagai disiplin ilmu telah mampu memberikan petunjuk ke arah pemahaman dan pengembangan sains dan teknologi.
Al-Qur’an sumber informasi tentang Tuhan, Rasul dan Alam Gaib
Al-Qur’an merupakan sumber informasi utama bagi manusia terutama tentang Tuhan dan hal-hal gaib yang tidak bisa diungkapkan oleh manusia berdasarkan kemampuan akal manusia semata-mata. Informasi tentang Tuhan yang tidak mungkin diragukan kebenarannya hanya datang dari Tuhan sendiri. Sumber kebenaran manusia didapat berdasarkan hasil pikiran manusia. Tuhan yang digambarkan oleh manusia berdasarkan dugaan dan perkirakan akalnya.
Al-Qur’an adalah firman Tuhan yang memberikan informasi tentang Tuhan sendiri, sehingga manusia memperoleh pengetahuan dan keyakinanyang benar tentang Tuhannya.
Di dalam Al-Qur’an Tuhan memperkenalkan Diri-Nya sehingga kebenaran Tuhan bersifat mutlak dari Tuhan. Sifat-sifat, rencana dan tujuan Tuhan diungkapkan-Nya sendiri kepada manusia melalui Al-Qur’an. Karena itu tidak ada sumber informasi tentang Tuhan yang dapat dipercaya, kecuali Al-Qur’an.
Al-Qur’an memberikan pula legitimasi terhadap Rasul yang ditugaskan Allah mengemban misinya kepada manusia. Penunjukan Rasul oleh Allah dan tercantum dalam Al-Qur’an merupakan informasi langsung dari Allah.
Al-Qur’an memberikan informasi pula tentang adanya hal-hal yang bersifat gaib, adanya makhluk yang tidak tampak, seperti jin dan malaikat, hari Kiamat, hari akhirat, surga, dan neraka.
Hal-hal yang bersifat gaib itu tidak dapat dipikirkan melalui akal manusia, tetapi memerlukan informasi sehingga manusia mengetahui dan meyakini keberadaannya. Informasi itu dapat diungkap dari Al-Qur’an yang merupakan firman dari Sang Maha Pencipta; Yang menciptakan alam gaib.
Naskah Asli yang terjaga
Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang terjaga keasliannya sejak masa diturunkannya sampai kini bahkan hingga akhir zaman. Keaslian ini disebabkan oleh Al-Qur’an diturunkan, ditulis, dan disampaikan kepada umatnya setiap zaman secara mutawatir atau terus menerus, baik melalui tulisan (mushaf) yang sampai sekarang aslinya masih ada, juga setiap masa terdapat para banyak penghafal Al-Qur’an (huffadz). Apabila terdapat kesalahan tulis dapat segera diketahui dan dibetulkan.
Keaslian Al-Qur’an dibuktikan pula dengan tidak terjadinya perubahan-perubahan atau kontroversi tentang ayat Al-Qur’an pada umat Islam seluruh duina. Mushaf Al-Qur’an yang ada ditangan umat Islam sama di seluruh dunia.
Wahyu Dan Kenabian
Wahyu secara semantik berarti “isyarat yang cepat (termasuk bisikan di dalam hati dan ilham), surat, tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui.
Di dalam Al-Qur’an sendiri wahyu digunakan dalam beberapa pengertian, seperti “isyarat” (Q.S.Maryam/9: 11),“pemberitahuan secara rahasia” (Q.S. Al-An`âm/6: 112), “perundingan yang jahat dan bersifat rahasia” (Q.S.Al-An`âm/6: 121), “ilham yang diberikan kepada binatang” (Q.S.Al-Nahl/16: 68), dan “ilham yang diberikan kepada manusia” (Q.S.Al-Qashash/28: 7).
Adapun secara terminologiswahyu adalah “pengetahuan yang didapat seseorang di dalam dirinya serta diyakininya bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan perantaraan, dengan suara, atau tanpa suara maupun tanpa perantaraan. Dengan demikian definisi wahyu yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pemberitahuan Allah kepada nabi nabi sudah berlainan sekali dengan pengertian bahasanya.Jadi wahyu tidak sama dengan ilham, kasyaf(vision, penglihatan batin), perasaan dalam jiwa, dan lain sebagainya. (Salih 1995)
Dalam pengertian ini dapat dilihat firman Allah Q.S.Al-Syûrâ/42: 51 berikut:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa wahyu yang dikaruniakan kepada manusia ada 3 macam, yaitu (1)pewahyuan (menurunkan wahyu), (2)memperdengarkan suara dari belakangtirai/hijab,dan (3) dengan perantaraan malaikat yang membawa wahyu (Jibril).
Pewahyuan cara pertama pada ayat diatas adalah wahyu dalam pengertian bahwasanya yang asli, yaitu isyarat yang cepat. Dalam hal ini, wahyu adalah suatu kebenaran yang disampaikan ke dalam kalbu atau jiwa seseorang, Tanpa terlebih dahulu timbul pikiran atau mukadimah-mukadimah, Dan kebenaran itu menjadi terang bagi yang bersangkutan. Wahyu dalam pengertian ini tidak sama dengan ilham, dan juga berbeda dengan hasil meditasi, karena merupakan kebenaran yang tidak mengandung keraguan. Inilah yang dimaksud dengan wahyu dalam kaitanya dengan para nabi. Sesudah menerima wahyu itu, para nabi mempunyai Kepercayaan yang penuh, bahwa yang diterimanya berasal dari Allah. Contoh wahyu serupa ini adalah wahyu yang diterima Nabi Ibrahim mengenai masalah penyembelihan putranya (Nabi) Ismail.
Pewahyuan cara kedua, wahyu yang disampaikan “dari belakang tirai”, adalah kalam Allah yang disampaikan kepada seorang nabi dari belakang hijâb, sebagaimana Allah memanggil Nabi Musa dari belakang sebuah pohon dan ia mendengar panggilan itu. Termasuk dalam kategori ini adalah wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW ketika dalam penjelasan isra’. (Shiddieq 1980)
Pewahyuan cara ketiga ialah pekabaran dari Tuhan yang disampaikan kepada seseorang melalui utusan (yaitu malaikat yang mengemban Risalah/Jibril) dan disampaikan dengan kata-kata yang “diucapkan”.cara ini adalah bentuk wahyu yang paling tinggi. pemberian wahyu dengan cara ini hanya terbatas bagi para rasul, yaitu orang yang ditugaskan mengemban risalah Tuhan untuk disampaikan kepada manusia. berbeda dengan bentuk pertama, wahyu bentuk ketiga tidak sekedar berbentuk konsep, tetapi dibungkus dengan kata-kata. Inilah yang disebut dengan wahyu matluw (wahyu yang dibaca).
Posisi Al-Qur’an di antara Kitab-Kitab Allah
Umat Islam wajib percaya bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada rasul-rasul untuk dijadikan pedoman dan petunjuk hidup. Kitab-kitab itu telah diturunkan kepada banyak bangsa melalui nabi-nabi (Q.S. 35: 24 dan Q.S. 10: 47). Iman kepada kitab-kitab tersebut adalah wajib. Dalam surah Al-Nisâ’/4: 136 Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya (Muhammad SAW) serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.”
Tetapi, karena Allah di dalam Al-Qur’an hanya menyebut beberapa nama kitab suci, maka yang wajib diimani hanyalah kitab-kitabyang disebut, yaitu:
Kitab Tawrât, diturunkan kepada Nabi Musa AS.
Kitab Zabûr, diturunkan kepada Nabi Daud AS.
Kitab Injîl, diturunkan kepada Nabi Isa AS.
Kitab Al-Qur’ân, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Menurut Al-Qur’an, Wahyu itu bukan saja universal, melainkan pula progresif, dan mencapai kesempurnaannya pada nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman dalam Q.S.Al-Mâ’idah/5: 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu.”
Sebagai kitab terakhir yang diturunkan Allah kepada nabi terakhir, Al-Qur’an berfungsi sebagai:
Penjaga kitab-kitab sebelumnya. setelah berbicara tentang Taurat dan Injil (Q.S. Al-Mâ’idah/5:44, 47), Allah berfirman dalam Q.S. Al-Mâ’idah/5: 48:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
“Dan Kami telah turunkan kepada engkau kitab dengan kebenaran, membetulkan apa yang ada sebelumnya diantara kitab-kitab suci, dan sebagai penjaga terhadap itu."
Hakim tentang apa yang diperselisihkan. Dalam Q.S.Al-Nahl/16: 63-64 Allah berfirman:
تَاللَّهِ لَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَىٰ أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَهُوَ وَلِيُّهُمُ الْيَوْمَ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌوَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ
“Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul kepada umat sebelum engkau, tetapi setan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk). Maka setan menjadi pemimpin mereka pada hari itu dan bagi mereka azab yang pedih. Dan Kami tidak menurunkan kitab ini kepada engkau, melainkan agar engkau menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan.”
Jadi, meskipun Al-Qur’an membetulkan kandungan kitab-kitab Suci terdahulu,tetapi Al-Qur’an juga mencela (menyalahkan)banyak doktrin yang terdapat di dalamnya. kitab-kitab itu memang asal mulanya dari Allah, tetapi tidak diwariskan kepada generasi sekarang dalam bentuk nya yang asli. kebenaran yang termuat di dalamnya telah bercampur dengan kesalahan Akibat perubahan yang dilakukan tangan manusia.
Menghapus hukum syariat kitab-kitab terdahulu. sebagai Wahyu tertinggi penutup para nabi, Al-Qur’an Me-nasakh (menghapus) hukum kitab-kitab suci yang turun terlebih dahulu. syariat yang dibawa kitab-kitab suci yang turun kepada para nabi sebelumnya bersifat terbatas pada lokalitas dan bangsa tertentu. sementara, Al-Qur’an yang disampaikan kepada Nabi Muhammad berlaku universal. karena itu, syariat nabi-nabi sebelumnya dihapus oleh ajaran yang berlaku universal, karena semuanya sudah terserap di dalamnya. Allah berfirman dalam Q.S.Al-Nahl/16: 101 dan Q.S.Al-Baqarah/2: 106 :
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ ۙ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan apabila Kami (Tuhan) mengubah suatu ayat (perkabaran)sebagai ganti ayat (perkabaran) yang lain,dan Allah Yang Maha Mengetahui akan apa yang Ia turunkan, mereka berkata,‘Engkau itu hanya membuat-buat saja.’ Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.”
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya pasti Kami datangkan yang lebih baik daripada itu atau yang sama dengan itu.”
Hakikat Risalah Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. di dalamnya termuat ajaran dan petunjuk tentang akidah, hukum, ibadah, dan akhlak. pada intinya, Al-Qur’an mengandung petunjuk tentang jalanhidup manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Isrâ’/17: 9 dan Q.S.Al-Nahl/16: 89 :
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
“Sesungguhnya Al Quran ini menunjukkan kepada jalan yang lebih lurus.”
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“Kami turunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu.”
Menurut Fazlur Rahman, terdapat 8 tema pokok yang terkandung dalam Al-Qur’an, yaitu (1) Tuhan; (2) manusia sebagai individu; (3)manusia sebagai anggota masyarakat; (4)alam semesta; (5)kenabian dan wahyu; (6)eskatologi; (7)setan dan kejahatan; dan (8)lahirnya masyarakat muslim. di dalam karyanya yang lain,A Rahman menyatakan bahwa semangat dasar Al-Qur’an adalah semangat moral yang sangat menekankan monoteisme (tauhid),keadilan sosial dan ekonomi. menurutnya, hukum moral adalah Abadi; manusia tidak dapat membuat atau memusnahkan hukum moral. manusia harus menyerahkan diri (Islam)kepada hukum moral itu. (Rahman 1983)
Selain itu, di dalam Al-Qur’an terkandung juga pernyataan-pernyataan hukum yang penting. Hukum moral dan pernyataan-pernyataan itu mengarah kepada satu tujuan, yaitu menciptakan tata tertib yang berkeadilan di dalam semesta. menurut Fazlur Rahman, perintah dan larangan di dalam Al-Qur’an jelas sekali mengarah ke sana. Salat diperintahkan untuk mencegah perbuatan keji dan munkar; zakat diwajibkan untuk menolong yang miskin; haji di syariatkan untuk memajukan persaudaraan Muslim; riba dilarang karena bertentangan dengan keadilan; judi dan khamr diharamkan karena dapat menimbulkan permusuhan. Al Qur’an juga meningkatkan derajat wanita dan memberikan kedudukan pribadi yang penuh kepada wanita itu. Al-Qur’an juga menciptakan millieu di mana perbudakan akan hilang.
Karena di dalam diri manusia terdapat potensi-potensi baik dan buruk, Al-Qur’an sangat menekankan agar manusia menegakkan perjuangan moral dengan mengembangkan potensi-potensi baiknya. apalagi Allah telah menanamkan dalam jiwa manusia kemampuan untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan (Q.S. Al-Syams/91: 8).
Secara lebih rinci, M. Quraish Shihab menyebutkan tujuan turunnya Al-Qur’an adalah:
Untuk membersihkan dan menyucikan jiwa dari segala bentuk Syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna Bagi Tuhan semesta alam.
Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat manusia merupakan umat yang seharusnya dapat bekerjasama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio,kesatuan kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan dan determinisme, kesatuan sosial, politik, dan ekonomi, dan berada dibawahsatukeesaan, yaitu keesaan Allah SWT.
Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerjasama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin hikmah dan kebijaksanaan.
Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,kebodohan, penyakit dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas manusia dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.
Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia.
Untuk memberikan jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan suatu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.
Berkenaan dengan tujuan diturunkannya Al-Qur’an ini, para ulama sependapat jika ada perbedaan-perbedaan, itu hanya bersifat redaksional, termasuk dalam hal ini pendapat golongan Syi'ah. Kalau M. Quraish Shihab menyebutkan delapan poin, Muhammad Rasyid Ridha menyebutkan sepuluh poin di antara tujuan diturunkannya Al-Qur’an itu, yaitu: (1) Menjelaskan hakikat Rukun agama; (2) memberi informasi kepada manusia apa yang mereka tidak ketahui dari persoalan kenabian, kerasulan, dan tugas-tugas mereka; (3) menyempurnakan Jiwa manusia, masyarakat dan komunitas manusia; (4) memperbaiki kehidupan sosial politik manusia; (5) menetapkan keutamaan agama Islam; (6) menerangkan ajaran Islam tentang kehidupan politik; (7) memberi petunjuk tentang perbaikan ekonomi; (8) memperbaiki sistem peperangan dan perdamaian; (9) mengangkat derajat wanita dan memberikan kepada mereka hak-hak penuh dalam kehidupan manusia, dalam beragama dan dalam peradaban; dan (10) memerdekakan budak.
Menurutnya, kesepuluh maksud Al-Qur’an ini merupakan penjabaran dari tiga ajaran pokok Al-Qur’an, yang menganjurkan umat manusia untuk mengembangkan: (1)pendidikan; (2)ilmu pengetahuan; dan (3)filsafat,seperti terkandung di dalam surah Al-Jumu`ah/62: 2:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dialah (Tuhan) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka (yuzakkîhim) dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Dalam menafsirkan ayat di atas, Muhammad Rasyid Ridha menyatakan bahwa yuzakkîhim (atau tazkiyah)mengandung pengertian pendidikan dengan perbuatan dan keteladanan; al-kitâb mengandung pengertian tulisan, bacaan, yang memuat ilmu pengetahuan; dan al-hikmah mengandung pengertian ilmu yang bermanfaat yang dapat membangkitkan perbuatan-perbuatan yang salih, yang dalam bahasa sekarang disebut “filsafat”.
Jadi, sebenarnya semua ulama sepakat menyatakan bahwa kepentingan sentral diturunkannya Al-Qur’an terletak pada manusia dan perbaikannya. dalam bahasa M. Quraish Shihab: “Al-Qur’an adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem hidup.”
AL-SUNNAH
Pengertian
Sunnah menurut bahasa adalah perjalanan, pekerjaan atau cara. Menurut istilah, sunnah berarti perkataan Nabi SAW., perbuatan dan keterangannya (taqrir), yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat sahabat dan ditetapkan oleh Nabi.
Berdasarkan definisi di atas, sunnah dibagi tiga, yaitu sunnah qauliyah, sunnah fi'liyah, dan sunnah taqririyah.
Sunnah qauliyah adalah sunnah dalam bentuk perkataan atau ucapan Rasulullah SAW. yang menerangkan hukum-hukum dan maksud Al-Qur’an.
Sunnah fi'liyah yaitu sunnah dalam bentuk perbuatan, yang menerangkan cara melaksanakan ibadat, misalnya cara berwudu, shalat dan sebagainya.
Sunnah taqririyah adalah ketetapan Nabi, yaitu diamnya Nabi atas perkataan atau perbuatan sahabat; tidak ditegur atau dilarangnya.
Sunnah sering juga disebut hadis, ada yang membedakan antara hadis dengan sunnah, yaitu hadis adalah sunnah qauliyah, sedangkan sunnah fi'liyah dan taqririyah bukan hadis melainkan sunnah saja. Namun secara umum hadis diartikan sama dengan sunnah.
Fungsi As-Sunnah Terhadap Al-Qur’an
Hadis-hadis Nabi dalam kaitan nya dengan Al-Qur’an mempunyai fungsi sebagai berikut
Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. maka dalam hal ini kedua-duanya sama-sama menjadi sumber hukum, misalnya dalam Al-Qur’an disebutkan mengharamkan bersaksi palsu:
Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. (QS. Al-Hajj:30)
Ayat tersebut kemudian dikuatkan oleh sabda Nabi SAW. dengan hadisnya:
أَلَاأُنَبِّئُكُمِ بأَكْبَرِالْكَبَائِرِثَلَاثًاقَالُوابَلَى يَارَسُولَاللَّه قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًافَقَالَ أَلَاوَقَوْلُ الزُّورِ
“Perhatikan, aku akan memberitahukan kepadamu sekalian tentang dosa yang paling besar”, sahut kami: “baiklah, hai Rasulullah”, beliau meneruskan sabdanya: (1) menyekutukan Allah; (2) durhaka kepada kedua orang tua. Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: “awas berkata palsu” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sedangkan hadis-hadis tentang perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, haji, amar makruf nahi munkar hadis hadis yang melarang minum khamar, berjudi, menyembelih kurban dengan menyebut nama selain Allah dan lain sebagainya adalah juga termasuk contoh-contoh dari fungsi pertama ini.
Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal/Global (Bayan Al mujmal), memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih belum terbatas di dalam Al-Qur’an (taqyiq Al-mutlaq) memberikan keputusan (takhshish)ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum (takhshish al-’amm), dan memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih rumit di dalam Al-Qur’an (tawdih al-musykil).
Contoh Bayan Al-mujmal:
Di dalam Al-Qur’an hanya disebutkan secara global tentang perintah shalat dan zakat, sebagaimana firman Allah:
وَأَقِيمُواالصَّلَاةَوَآتُواالزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanzakat...”. (QS. Al-Baqarah: 43)
Tetapi di dalamnya belum dijelaskan kaifiyat (cara-cara) menjalankan shalat, jumlah rakaat dalam shalat, nisab, nisab, zakat, dan sebagainya, secara terperinci, dalam hal ini hanya dijumpai dalam hadi-hadis Nabi SAW., misalnya sabda Nabi SAW.:
صَلُّواكَمَارَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat aku menjalankan shalat.."
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi SAW. memberikan contoh-contoh secara praktis tentang cara-cara menjalankan ibadah shalat
Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an. Hal ini berarti bahwa ketetapan hadits itu merupakan ketetapan yang bersifat tambahan hal-hal yang tidak disinggung oleh Al-Qur’an dan hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berdasarkan al-hadits semata-mata. misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap orang wanita dengan bibinya, sebagaimana sabda Nabi SAW.:
لَايُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِوَعَمَّتِهَاوَلَابَيْنَ الْمَرْأَةِوَخَالَتِهَا
“Tidak boleh dikawini bersama (berpoligami) antara seorang wanita dengan ‘ammah (saudari bapaknya) dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibunya)”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Di dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 23 disebutkan:
Artinya :
“ (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ».
Tuhan seolah-olah memperbolehkan orang berpoligami antara seorang wanita dengan bibinya, karena itu, hadis tersebut di atas menetapkan hukum yang tidak dijumpai dalam Al-Qur’an.
Ketetapan hadits itu bisa mengubah hukum dalam Al Quran
Misalnya hadis Nabi SAW.لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (Tidak ada hak memperoleh wasiat bagi ahli waris). Hadits ini menasakh (mengubah) ketetapan hukum Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 180:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu akan meninggal dunia, apabila ia meninggalkan harta yang banyak, supaya membuat wasiat untuk orang tuanya dan kerabatnya dengan sebaik-baiknya”. (QS. Al-Baqarah: 180)
Macam-macam Hadits
Hadits dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkannya, dan dari segi kualitas (diterima dan ditolaknya) hadis. Dari segi jumlah orang yang meriwayatkannya, habis dibagi atas 3 macam, yaitu:
Hadits mutawatir
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan sejumlah orang yang secara terus-menerus tanpa putus dan secara Adat para perawinya tidak mungkin berbohong.
Hadits Masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan sejumlah orang tetapi tidak mencapai derajat Mutawatir.
Hadits Ahad
Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang, atau lebih, tetapi tidak mencapai syarat masyhur dan mutawatir.
Dari segi kualitas (diterima atau ditolaknya) macam hadis terdiri atas:
Hadits shahih
Hadits shahih adalah hadits yang sanadnya tidak terputus, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil, sempurna ingatannya, kuat hafalannya, tidak cacat dan tidak bertentangan dengan dalil atau periwayatan yang lebih kuat .
Hadits shahih memiliki syarat-syarat berikut:
Sanadnya bersambung atau tidak terputus-putus
Orang yang meriwayatkan nya bersifat adil, berpegang teguh kepada agama, baik akhlaknya, dan jauh dari sifat fasik
Periwayat sempurna ingatan dan hafalannya kuat (dhabit)
Periwayat tidak ditolak oleh ahli-ahli hadits
Hadits shahih terbagi dua, yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi. Hadits shahih lidzatihi adalah hadis yang memiliki sifat-sifat hadis yang diterima, pengertiannya disebutkan di atas. Shahih lighairihi adalah Hadits yang tidak memiliki sifat diterima, tidak seperti hadis di atas, tetapi menjadi sahih karena adanya hadis-hadis lain yang menjadikannya sahih.
Hadits hasan
Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat hadits shahih, tetapi orang yang meriwayatkannya kurang kuat ingatannya atau kurang baik hafalannya
Hadits dhaif
Hadits dhaif adalah hadits yang tidak lengkap syaratnya atau tidak memiliki syarat yang terdapat dalam hadis sahih dan hadis hasan.
C. IJTIHAD
Pengertian ijtihad
Al-Qur’an berisi aturan-aturan atau hukum-hukum yang bersifat global, karena itu maksud Al-Qur’an dijelaskan oleh as-sunnah. sekalipun demikian, masih banyak persoalan yang dihadapi oleh manusia yang tidak ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur’an maupun as-sunnah. Misalnya, kebudayaan manusia yang dari waktu ke waktu terus berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia. Di sini diperlukan hukum yang mengatur manusia agar tidak keluar dari syariat. Untuk itu diperlukan kajian terus-menerus terhadap Al-Qur’an dan as-sunnah untuk memberi kepastian hukum terhadap suatu tindakan manusia yang belum diatur dalam Al-Qur’an dan as-sunnah secara pasti. Dalam menetapkan hukum yang belum diatur secara pasti dalam Al-Qur’an dan as-sunnah, manusia didorong untuk menggunakan akal pikirannya (rakyu). Akal pikiran digunakan dalam menetapkan hukum melalui ijtihad.
Ijtihad berarti menggunakan seluruh kesanggupan berpikir untuk menetapkan hukum syara dengan cara mengeluarkan hukum dari kitab dan Sunnah. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid, yaitu ahli fiqih yang menghabiskan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat (dzan) terhadap suatu hukum agama dengan jalan istinbat dari Al-Qur’an dan as-sunnah.
Kebenaran hasil ijtihad tidak bersifat mutlak, melainkan dzanniyah (persangkaan kuat kepada benar). oleh karena itu, mungkin saja antara satu mujtahid dengan mujtahid lain hasilnya berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan pengalaman, ilmu serta adat kebiasaan yang berpengaruh kepada hasil ijtihad mereka. bahkan bisa saja hasil ijtihad di suatu tempat berbeda dengan hasil ijtihad di tempat lain, karena seorang mujtahid tidak terlepas dari lingkungan budayanya dan pada akhirnya berpengaruh kepada hasil ijtihadnya. Demikian pula hasil ijtihad yang dilakukan pada suatu waktu dapat berbeda dengan hasil yang didapatkan pada waktu yang lain.
Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa setiap mujtahid itu benar atau salah. Karena yang dapat mengukur kebenaran secara mutlak hanya Allah Semata. Hal ini disyaratkan oleh Nabi dalam sabdanya:
إِذَااجْتَهَدَالْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَااجْتَهَدَ فَأَخْطَأَفَلَهُ أَجْرٌوَاحِدٌ.
Jika seorang hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran, maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mencapaisatu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim)
Macam-Macam dan Cara-Cara Ijtihad
Macam-Macam Ijtihad
Dilihat dari pelaksanaannya, ijtihad dapat dibagi kepada dua macam, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jama'i. Ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid secara pribadi. Sedangkan ijtihad jama'i atau ijma' adalah ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid secara berkelompok. Dilihat dari segi materi, ijtihad terdiri atas 3 macam:
Qiyas.
Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan lainnya dan mempersamakannya. Menurut istilah adalah menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum yang sudah ditentukan oleh nash, disebabkan oleh adanya persamaan di antara keduanya.
Ijma.
Ijma' menurut bahasa adalah sepakat, setuju atau sependapat. sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat atau kesepakatan semua ahli ijtihad ummat setelah wafatnya Nabi Pada suatu masa tentang suatu hukum.
Ijma' terdiri atas ijma qauli (perkataan), dan ijma sukuti (diam). Ijma qauli maksudnya para ulama mujtahidin menetapkan pendapatnya baik dengan ucapan maupun dengan tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. Ijma sukuti adalah ketika para ulama mujtahid berdiam diri; tidak mengeluarkan pendapatnya atas hasil ijtihad para ulama lain, dianya itu bukan karena takut atau malu.
Ijma' pada masa sekarang dihadapkan pada persoalan banyaknya para ulama dan tempat tinggalnya yang tersebar di seluruh pelosok dunia. Antara kelompok ulama yang satu dengan ulama lainnya tidak mungkin dapat disatukan pendapatnya. Karena itu, kemungkinan perbedaan antara ijma' ulama di suatu tempat dengan tempat yang lain sangat besar. Namun, hal ini bukan sesuatu yang menghambat pelaksanaan hukum Islam.
Istihsan
Istihsan adalah menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan ijitihadiyah atas dasar prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berkaitan dengan kebaikan, keadilan, kasih sayang, dan sebagainya dari Al-Qur’an dan hadis.
Mashalihul Mursalah
Mashalihul mursalah adalah menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiah atas dasar pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syariat Islam, sekalipun tidak ada dalil-dalil secara eksplisit dari Al-Qur’an dan hadis.
Cara-Cara Ijtihad
Mujtahid berijtihad dengan memperhatikan dalil-dalil yang tinggi tingkatannya kemudian berurut pada tingkatan berikutnya. urutan tersebut sebagai berikut: 1). Nash Al-Qur’an, 2). Khabar (Hadits) mutawatir, 3). Khabar Ahad, 4). Zahir Quran dan 5). Zahir hadis.
Apabila dalam urutan itu tidak didapatkan, hendaknya memperhatikan perbuatan-perbuatan Nabi kemudian taqrirnya. jika melalui ini pun tidak didapatkan, maka hendaknya memperhatikan fatwa-fatwa sahabat. jika tidak didapat, barulah ditetapkan melalui qiyas atau dengan salah satu dalil yang dapat dibenarkan menurut syara, dengan memperhatikan kemaslahatan (kebaikan).
Jika didapatkan dalil yang berlawanan, hendaknya mengumpulkan dalil-dalil menurut qaidah yang dibenarkan. jika tidak mungkin mengumpulkan, diambil salah satu yang dipandang lebih kuat, hendaknya menasakhkan, atau mencari yang terdahulu dan yang kemudian, yang dahulu itulah yang dibatalkan. kalau tidak diketahui, hendaknya berhenti (tawaquf), tidak boleh menetapkan hukum dengan dalil yang bertentangan, hendaknya menggunakan dalil yang lebih rendah tingkatannya.
Demikian ketatnya cara berijtihad sehingga hanya orang yang memiliki kemampuan yang optimal saja yang mampu menjadi mujtahid. Begitulah hati-hatinya para mujtahid dalam menetapkan suatu hukum.
Syarat-syarat mujtahid
Berijtihad tidak bisa dilakukan oleh siapa saja, tetapi hendaknya orang yang berijtihad itu memiliki kapasitas dan kualifikasi ilmu yang memadai. Untuk itu seorang mujtahid seyogyanya memiliki kemampuan sebagai berikut:
Mengetahui isi Al-Qur’an dan hadits yang bersangkutan dengan hukum, meskipun tidak hafal di luar kepala.
Mengetahui bahasa Arab dengan berbagai ilmu kebahasaannya, seperti nahwu, sharaf, maani, bayan, badi, agar dapat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an atau sunnah dengan cara yang benar.
Mengetahui kaidah-kaidah ilmu ushul yang seluas-luasnya, karena ilmu ini menjadi dasar berijtihad.
Mengetahui soal-soal ijma', supaya tidak timbul pendapat yang bertentangan dengan hasil ijma'.
Mengetahui nasikh-mansukh dalam Al Quran.
Mengetahui ilmu riwayah dan dapat membedakan mana hadits yang sahih dan hasan, mana yang dhaif, maqbul dan mardud.
Mengetahui rahasia-rahasia tasyri (asrarusy sya’riyah), yaitu kaidah-kaidah yang menerangkan tujuan cara dalam meletakkan beban taklif kepada mukallaf.
Ijtihad pada masa sekarang tidak hanya dilakukan oleh ahli-ahli agama yang memiliki syarat diatas, tetapi juga melibatkan ahli-ahli lain yang relevan dengan masalah yang sedang dibahas. Ahli agama tidak mungkin menguasai bidang-bidang lain secara detail dan mendalam. Misalnya, materi bidang kedokteran, maka dalam ijtihad diperlukan keterlibatan ahli kedokteran yang memiliki kapasitas dan kualifikasi tentang masalah yang sedang dibahas, bahkan mungkin juga diperlukan ahli-ahli dari bidang yang lain yang terkait dengan masalah yang dibahas. Semakin kompleks masalah yang hendak diijtihadkan semakin banyak ahli yang harus dilibatkan. Konsekuensinya akan semakin baik hasil ijtihad yang diperoleh.
Wilayah Itihad
Wilayah ijtihad dalam pandangan ulama salaf terbatas dengan masalah-masalah fiqhiyah, namun pada akhirnya wilayah tersebut mengembang pada aspek keislaman yang mencakup akidah, filsafat, tasawuf, dan fikih itu sendiri. Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam "I’lam al-Muwaqi’in" menerangkan bahwa haram hukumnya memberikan fatwa yang menyalahi nash, bahkan ijtihad menjadi gugur jika ditemukan nash. Lebih lanjut Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa ketentuan nash Wajib diikuti dan menolak adanya pertentangan atau istidhlal melalui ijtihad. Iika kasus ersebut terjadi di zaman sahabat Nabi dan mereka telah menyelesaikan dengan ra’yu-nya melalui panggilan dalil nash, maka seseorang wajib mengikuti ketentuan sahabat tersebut atau membatalkan semua hasil ijtihad ulama. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i "Idza shahha Hadits fadhribu bi qawli al-haithi wa shahha anhu” (jika ada Hadis sahih, maka buanglah pendapatku yang mengikat dan benarkanlah Hadis itu).
Imam Ahmad berkata:
كَان اَحْسَنُ اَمْرَالشَّافِعِى عِنْدَى اَنَّهُ كَانَ اِذَاسَمِع الخَبْرَلَمْ يَكْنْ عِنْدَهُ قَالَ بِه وَتَرَكَ قَوْلُهُ
“Menurutku, perkara yang paling baik bagi al-Syafi’i adalah, jika ia mendengarkan Hadis yang belum diterima, maka ia merujuk Hadis itu dan meninggalkan pendapatnya."
Dalam kaitan wilayah ijtihad, Ustadz Muhammad Al Madani dalam bukunya “Mawathin al-Ijtihad fi al-Syari’ah al -Islamiyyah” menyatakan bahwa dalam masalah hukum terbagi dua kemungkinan yang perlu diantisipasi, yaitu:
Masalah Qath’iyah
Masalah-masalah yang sudah ditetapkan hukumnya dengan dalil-dalil yang pasti, baik melalui maupun dalil aqli. Hukum qath’iyah sudah pasti berlakunya sepanjang masa sehingga tidak mungkin adanya perubahan dan modifikasi serta tidak ada wilayah meng-istinbath-kan hukum bagi para mujtahid.
Masalah qath’iyah terbagi atas 3 bagian, yaitu:
Masalah Akidah, yakni masalah yang menentukan apakah seseorang itu mu’min atau kafir, barangsiapa yang mengingkari tentunya ia mencabut imannya. Misalnya masalah rukun Iman.
Masalah ‘Amali, yakni masalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya dalam nash dan tidak mungkin terjadi perselisihan. Misalnya ketentuan bilangan shalat, ketentuan kadar zakat, puasa Ramadhan, hal zina, mencuri, dan sebagainya serta hukum-hukum yang bersifat dharuri (primer), yang terdiri atas pemeliharaan agama, pemeliharaan jiwa, memelihara harta, memelihara akal, dan memelihara kehormatan atau keturunan.
Kaidah-kaidah yang pasti, di mana kaidah-kaidah tersebut diintisarikan dan bersumber dari nash-nash yang qath’i: misalnya kaidah “la dharara wa la dhirara” (tidak boleh membikin mudharat pada orang lain dan dibikin madharat dari orang lain). dan seterusnya.
Masalah Zhanniyah
Masalah-masalah yang hukumnya belum jelas dalil Nash-nya sehingga memungkinkan adanya wilayah dan ikhtilaf. Adapun wilayah Zhanniyah ada 3 macam yaitu:
Hasil analisa para teolog, yakni masalah yang tidak berkaitan dengan akidah keimanan seseorang. Misalnya masalah apakah Allah itu wajib berkehendak baik atau lebih baik? Sebagian teolog (ahli ilmu kalam) mewajibkannya, sedangkan yang lain tidak mewajibkannya, karena hal itu membatasi kekuasaan Allah.
Aspek amaliah yang zhanni, yakni masalah yang belum ditentukan kaidah atau kriterianya dalam nash. Misalnya batas-batas menyusui yang dapat menimbulkan haram, sebagian berpendapat sekali susuan, ada yang 3 kali susuan bahkan ada 10 kali susuan, dan sebagainya.
Sebagian kaidah-kaidah Zhanni, yaitu masalah qiyas, sebagian ulama memeganginya karena qiyas merupakan norma hukum tersendiri, dan sebagian tidak, karena qiyas bukan merupakan norma hukum tersendiri melainkan sekadar metode pemahaman nash.
Pembagian tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada masalah yang hukumnya ditunjukkan oleh dalil zhanni, yang kemudian terkenal dengan masalah fikih, serta masalah hukumnya sama sekali belum disinggung baik oleh Al-Qur’an maupun Sunnah dan ijma’. Inilah yang merupakan masalah baru atau hukum baru. Dan ternyata apabila ijtihad ini bertentangan dengan nash, makanya lihat itu menjadi batal dan tertolak, karena tidak ada ijtihad terhadap nash.
Kalau kita telaah fenomena yang terjadi, maka wilayah ijtihad tidak hanya berlaku untuk bidang fikih, tetapi juga berlaku bidang akidah, tasawuf, dan filsafat. Hal itu dapat kita lihat ulasan berikut ini:
Bidang akidah, yakni yang berkaitan dengan kepercayaan, misalnya: Apakah Nabi SAW. ber-isra’-mi’raj dengan roh saja atau badan nya sekalian.Apakah orang Islam yang melakukan dosa besar tetap mukmin, Apakah perbuatan manusia itu ciptaan Tuhan atau ciptaan manusia sendiri, apakah Allah itu bersifat atau tidak.
Bidang tasawuf, yang berkaitan dengan etika dalam beribadah dan bermuamalah misalnya: konsep ma’rifat, Sebagian ada yang melihat Allah dengan mata indra, atau dengan mata hati, atau hanya sekedar mengetahui (irfan) terhadap ciptaan dan sifat-sifat Allah yang mampu membuktikan bahwa Allah itu ada, dan sebagainya. Atau juga apakah puncak indra manusia terletak pada wahdah al-wujud, ittishal, hulul, ittihad, dan sebagainya.
Bidang Filsafat, yakni masalah yang berkaitan dengan perenungan dan pemikiran tentang hakikat Islam dan ajaran-ajarannya. Misalnya: Apakah alam itu tercipta dari sesuatu yang ada, atau berasal dari sesuatu yang semula sudah ada, atau berasal dari sesuatu yang semula sudah dan sebagainya.
Para ulama khalafiyah (modern) kadang-kadang berijtihad tidak memandang masalah-masalah tersebut. Mereka mencari dan meneliti suatu kepastian hukum dengan melihat dan men-tarjih atau bahkan memodifikasi dan mengombinasi pendapat-pendapat yang telah ada dan sudah ditetapkan oleh ulama pendahulunya, di mana hal ini dikenal dengan istilah “talfiq”.
Talfiq adalah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu kasus atau peristiwa dengan mengambil dari berbagai mazhab. Sedang hukum talfiq ini masih dipertentangkan oleh para ulama. Mereka mengklasifikasikan dengan 3 macam, yaitu:
Men-talfiq hukum dalam masalah yang berbeda. Misalnya shalat mengikuti Imam Hanafi sedang hajinya mengikuti Imam Malik, dan puasa mengikuti Imam Syafi'i serta waktunya mengikuti Imam Ahmad Hanbal.
Men-talfiq hukum dalam suatu masalah yang tidak satu rukun tetapi masih terkait. Misalnya cara wudhu mengikuti Imam Syafi'i sedang shalatnya mengikuti Imam Malik.
Men-talfiq hukum dalam satu masalah yang masih terkait dalam satu rukun. misalnya takbir shalat mengikuti Imam Syafi'i, bacaan Fatihah mengikuti Imam Malik, hukum mengikuti Imam Hambali dan sujudnya mengikuti Imam Hanafi. Talfiq ini dilakukan secara kontinu, tidak berpindah-pindah, dan talfiq model ini masih dikatakan bermazhab karena ia mengikuti dan terkait dengan salah satu mazhab walaupun dipraktikkan dalam satu masalah yang berkaitan dengan rukun.
Klasifikasi di atas menimbulkan pro dan kontra bagi para ulama. Sebagian ulama memperbolehkan talfiq tanpa syarat tertentu, karena talfiq tidak ada larangan dalam Islam, dan talfiq tersebut dilakukan dalam rangka mencari kebenaran yang telah diselidiki sebelumnya. Ulama lain memperbolehkan talfiq dengan batas model talfiq yang pertama, sehingga hukum yang dipraktikkan tidak membingungkan. Ulama lain melarang adanya talfiq dengan total, karena talfiq dipandang memperingan perintah dan larangan Allah SWT. tanpa memperhatikan keridhoan dari-Nya.
Masing-masing pendapat dapat dibenarkan. Kita misalkan saja, seorang syafi’iyah dalam melakukan ibadah haji tentunya rukun dan syaratnya mengikuti Mazhab Syafi'i, tapi dalam hal sentuhan antara laki-laki dan wanita bukan mahram, mereka mengikuti pendapat Imam Malik. Sentuhan bagi Syafi’i membatalkan, tetapi bagi Malik tidak membatalkan, padahal syarat Haji harus suci dari Hadas. Tetapi perlu diingat juga ber-talfiq yang juga tidak mudah, karena disyariatkan sebagai berikut yaitu:
Harus mengetahui benar prosedur dan kriteria yang diikuti, misalnya ber-talfiq pada Imam Malik bahwa siput tidak haram, namun harus mengetahui syarat memakan siput, diantaranya adalah disembelih dahulu sebelum dimasak.
Harus memperhatikan kondisi masyarakat setempat. kalau di suatu negara banyak yang bermazhab Syafi'i, maka sebaiknya hukum dan undang-undang negara diterapkan menurut Mazhab Syafi'i pula, sehingga tidak membingungkan umat. misalnya menurut Syafi'i nikah harus memakai wali, sedang Hanafi tidak mensyaratkan. apabila suatu negara tidak memastikannya maka berakibat perselisihan bagi pihak penggugat harta waris yang menikahi (suami yang telah bercerai mati) sementara wali tidak mengetahui apakah anak wanitanya bersuami atau tidak.
Upaya talfiq tidak berhenti di sini saja, tetapi harus terus menggali dasar dan sumber hukum yang dipraktikkan, sehingga pada akhirnya ia tidak menjadi seorang yang selalu ber-talfiq tetapi mampu untuk berijtihad sendiri.
Penyelesaian kasus talfiq yang tepat menurut hemat penulis adalah berpijak pada kaidah fiqhiyah:
الْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ
“Keluar dari persengketaan itu dianjurkan”
Pada kaidah itu berimplikasi bahwa penyelesaian kontradiksi pendapat (ta’arrud) yang disolusikan melalui talfiq, maka seorang muslim diharuskan memilih pendapat yang lebih ikhtiyat (hati-hati), dimana pemilihan pendapat itu mencakup keseluruhan pendapat yang dipertentangkan. Misalnya Imam Hanafi mendudukkan baca al-fatihah dalam shalat sebagai perbuatan wajib bukan fardhu1, sehingga meninggalkan bacaan al-Fatihah yang diganti dengan bacaan lain, tetap tidak membatalkan shalat walaupun berdosa sedangkan Imam Syafi'i memberikan hukum bacaan al-Fatihah dalam salat dengan hukum wajib dan fardhu, sehingga meninggalkan membaca al-Fatihah maka salatnya tidak sah. penyelesaian kasus semacam ini bila melalui metode talfiq Maka lebih baik mengikuti pendapat Imam Syafi'i, sebab jika mengikuti pendapat Imam Syafi'i berarti mengikuti pendapat Imam Hanafi pula.
Demikian pula kasus mengusap sebagian kepala dalam berwudhu. Menurut Imam Syafi'i hanya mensyaratkan sebagian kecil saja dari bagian kepala, bahkan boleh tiga helai rambut, sedang Imam Hanafi mengharuskan sepertiga atau seperempat dari bagian kepala, sementara Imam Malik mengharuskan keseluruhan bagian kepala. kasus demikian itu (dengan penyelesaian talfiq) Maka lebih baik mengikuti pendapat Imam Malik, sebab dengan demikian berarti mencakup pendapat imam Syafi'i dan Imam Hanafi serta mengeluarkan seseorang dari persengketaan menurut kaidah di atas.
Kasus menyentuh wanita lain, sebagian ulama membatalkan wudhu berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 22, namun ulama lain tidak menjadikan batal. Maksud “aw la mastum an-nisa’” dalam ayat itu tidak bersentuhan kulit tetapi bersetubuh, lagi pula pendapat terakhir ini didukung Sunnah Nabi SAW. yang pernah mencium istrinya Aisyah sebelum shalat, dan beliau langsung shalat tanpa berwudhu lagi. penyelesaian kasus ini menurut metode talfiq adalah lebih baik menganggap batal wudhunya jika terjadi persentuhan laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya dalam berwudhu kecuali istrinya sendiri, hal itu berdasarkan ikhtiyat.
Imam Hanafi membedakan istilah wajib dan fardhu, sedang Imam Syafi'i tidak demikian, kecuali Bab Haji. Bagi Hanafi, wajib adalah perbuatan yang harus dikerjakan, bila ditinggalkan, maka Tafsir tetap sah perbuatannya walaupun berdosa. Sedangkam fardhu adalah perbuatan yang harus dilakukan, jika ditinggalkan, maka menjadikan batal perbuatannya dan harus diulangi perbuatan tersebut
Baca Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1984, h. 31-50
Add Comment