Kajian

Asumsi-Asumsi Dasar Ilmu Pengetahuan Sebagai Basis Penelitian Pendidikan Islam

Oleh : Ahmad Irfan

ABSTRAK

Asumsi-asumsi dasar ilmu pengetahuan sebagai basis penelitian pendidikan Islam.  Asumsi dalam kajian filsafat ilmu tergolong ke dalam kelompok ontologi, yaitu bab yang membahas tentang hakikat yang ada. Untuk mengolah pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan (sains) perlu dilakukan penelitian dan eksperimen menggunakan metode ilmiah. 

Asumsi berperan sebagai dugaan/ andaian terhadap objek empiris untuk memperoleh pengetahuan. Ia diperlukan sebagai arah atau landasan bagi kegiatan penelitian sebelum sesuatu yang diteliti tersebut terbukti kebenarannya.

Penelitian merupakan alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang hasilnya akan menemukan teori-teori baru maupun induksi-konsultasi. Begitupun, dalam mengembangkan ilmu pendidikan Islam perlu diadakan penelitian. Asumsi-asumsi dasar ilmu pengetahuan sebagai basis penelitian Islam bersumberkan dari empirisme, rasionalisme, intuisi, maupun wahyu.

Penelitian pendidikan Islam, mencakup penelitian terhadap pengetahuan filsafat pendidikan Islam, pengetahuan mistik Pendidikan Islam, dan Ilmu Pendidikan Islam. Penelitian dalam arti kajian logika dan mistik telah banyak dilakukan para ulama Islam. Sementara itu, kajian atau tepatnya penelitian terhadap ilmu Pendidikan yang bersifat empris dinilai masih belum banyak dilakukan pakar Islam. Sedangkan kajian dengan yang terakhir inilah menjadi modal bagi pegembangan ilmu pendidikan Islam. 

Dari penelitian Ilmu Pendidikan Islam (sains yang empiris) itu akan mucul teori yang selanjutnya disesuaikan dengan ajaran Islam. Teori-teori itulah yang kelak disebut teori Ilmu Pendidikan Islam

Kata kunci : Asumsi, Penelitian, Pendidikan Islam

Abstract

“The basic  assumptions of science as the basis of Islamic education research.  The assumptions in the study of philosophy belong to ontology group, the chapter that discusses the nature that exists. To process the knowledge become the the science, It is necessary to conduct research and experiment using scientific method. The act of the assumptions as the guess to the empirical object to get the knowledge. It be done as the way or underlayer to the research before something in that punctual proved the right.The research as a tools to develop the knowledge which the product will find the new theories or the induction- consultation. As well, to develop the Islamic educations study, it needs to held the research.  The basic  assumptions of science as the basis of Islamic education research. This paper want to explain about the assumptions of the base in knowledge as the basic of Islamic education, it source from empiricism, rasionalism, intuition or revelation. Islamic educational research, include research philosophical knowledge of Islamic education, the mystical knowledge of Islamic research and science of Islamic education. Research in the sense of study of logic and mystic has been done by Islamic scholars. While research on the science of education that is empirical is still not widely practiced Islamic expert. While this study became the capital for the development of Islamic education science. From Islamic education research (science-empirical) it will emerge a theory which is further adapted to the theachings of Islam. That theory is what later called Islamic education science theory” .

Keywords: assumption,  research, Islamic education

A. PENDAHULUAN

Asumsi dalam kajian filsafat ilmu tergolong ke dalam kelompok ontologi, yaitu bab yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk konkret atau abstrak. Asumsi berperan sebagai dugaan/ andaian terhadap objek empiris untuk memperoleh pengetahuan. Ia diperlukan sebagai arah atau landasan bagi kegiatan penelitian sebelum sesuatu yang diteliti tersebut terbukti kebenarannya.

Metode ilmiah (seperti empiris-eksperimental) adalah hasil penemuan yang telah diupayakan manusia dalam waktu yang cukup lama. Dasar-dasarnya sudah ada pada masa Yunani, dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada masa kejayaan peradaban Islam dan kemudian dirumuskan langkah-langkahnya lebih terperinci pada masa modern. Metode ilmiah didasarkan pada sejumlah asumsi-asumsi yang biasanya diterima begitu saja. (Akhyar,2015).

Asumsi sangat erat kaitannya dengan metodologi penelitian ilmu pengetahuan, karena pengetahuan diperoleh melalui pendekatan ilmiah, yakni melalui “ penyelidikan yang sistematik, terkontrol dan bersifat empiris atas suatu relasi fenomena alam. Metode ilmiah merupakan prosedur atau langkah-langkah sistematis dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan metode ilmiah. Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah sistematis. (Endang, 2011).

Perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan mensyaratkan dan memutlakkan adanya kegiatan penelitian. Tanpa penelitian itu ilmu pengetahuan tidak dapat hidup. Memang penelitian merupakan suatu tugas, agar bangunan ilmu pengetahuan tidak kabur, tanpa stuktur jelas, tanpa sistematik, atau dengan metode serta tujuan yang kacau. Pada pokoknya kegiatan penelitian merupakan upaya merumuskan permasalahan,mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dengan jalan menemukan fakta-fakta dan memberikan penafsiran yang benar. Tetapi lebih dinamis lagi penelitian juga berfungi dan bertujuan inventif, yakni terus menerus memperbaharui lagi kesimpulan teori yang telah diterima berdasarkan fakta-fakta yang telah ditemukan. (Anton, 2009)

Pendidikan Islam yang bertujuan untuk membimbing pertumbuhan rohani dan jasmani pemeluknya menurut ajaran perlu dikembangkan dengan penelitian. Pendidikan Islam merupakan hal yang wajib untuk dilaksanakan untuk mengembangkan konsep-konsep pendidikan Islam dan upaya menjawab permasalahan yang terjadi dalam dunia pendidikan Islam.  Maka suatu falsafah pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam, yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut.

B. PEMBAHASAN

  1. Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan

Manusia adalah makhluk berfikir yang selalu ingin tahu tentang sesuatu. Rasa ingin tahu mendorong manusia mengemukakan pertanyaan. Bertanya tentang dirinya, lingkungan di sekelilingnya, ataupun berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar nya. Dengan bertanya itu manusia mengumpulkan segala sesuatu yang diketahuinya. Begitulah cara manusia mengumpulkan pengetahuan. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pengetahuan adalah produk dari tahu, yakni mengerti sesudah melihat, menyaksikan dan mengalami.

Manusia memperoleh pengetahuan melalui berbagai cara. Bila hanya sekedar ingin tahu tentang sesuatu, cukup dengan menggunakan pertanyaan sederhana. Namun di samping itu, adakalanya pengetahuan itu diperoleh melalui pengalaman yang berulang-ulang terhadap suatu peristiwa atau kejadian. Ada juga pengetahuan diperoleh dari usaha dalam mengatasi masalah yang berhubungan dengan kebutuhan hidup. Adakalanya pula pengetahuan diperoleh dengan percobaan sederhana atau dikenal dengan trial and error. Pengetahuan dari hasil coba-coba. (Jalaluddin, 2014).

Pengetahuan seperti ini disebut pengetahuan alamiah, pengetahuan biasa, atau pengetahuan. Jadi awalnya masih sangat sederhana. Hanya sekedar ingin tahu tentang sesuatu melalui proses berfikir alamiah, secara sederhana dan apa adanya. Berfikir alamiah itu sendiri merupakan pola penalaran yang berdasarkan kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Proses memperoleh pengetahuan secara sederhana dimulai dari pengamatan sekitar  kemudian dicari hubungan sebab akibat, lalu diambil kesimpulan. Tanpa dilakukan analisis dan pengujian lebih lanjut berdasarkan proses keilmuan. Oleh karena itu kesimpulan yang diambil mungkin saja bersifat kebetulan atau kebenaran sesaat.

Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, maka pengetahuan yang bersifat alamiah ini kemudian dikembangkan hingga menjadi ilmu pengetahuan. Pengembangan ilmu pengetahuan ini dilatarbelakangi oleh adanya tiga dorongan. Pertama, dorongan untuk mengetahui yang lahir dari keterpaksaan untuk mempertahankan hidup. Kedua, dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan yang mendalam dan menemukan tata susunan yang sesungguhnya dalam kenyataan. Ketiga, dorongan mengetahui menyangkut penilaian mengenai realitas eksistensi manusia itu sendiri. (Anton,2009)

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang diperoleh sebagi hasil rentetan daur-daur penyimpul-ratapan (induksi), penyimpul-khasan (deduksi) dan penyahihan (verifikasi/validasi) yang terus menerus tak kunjung usai.  Berikut ini ciri-ciri pengetahuan berdasarkan ahli : (Akhyar, 2015)


Empirisme
(Pengalaman Manusia). Dengan ini muncul aliran Empirisme yang dipelopori oleh Jhon Locke. Manusia dilahirkan sebagai kertas putih pengalamanlah yang akan memberikan lukisan kepadanya. Dunia empiris merupakan sumber pengetahuan, utama dalam dunia pendidikan, terkenal dengan teori ‘tabula rasa’ (teori kertas putih). Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan dapat dapat diperoleh melalui pengamatan, dengan jalan observasi, atau jalan penginderaan. (Burhanuddin, 1997)Adapun yang dimaksud dengan sumber pengetahuan, adalah faktor yang melatarbelakangi lahirnya ilmu pengetahuan. Dari mana atau dengan cara bagaimana manusia memperoleh ilmu pengetahuan itu. Maka setidaknya ada empat sumber pengetahuan manusia, yaitu :

  1. Rasionalisme, (Pikiran Manusia). Hal ini melahirkan paham Rasionalisme yang berpendapat bahwa sumber satu-satunya dari pengetahuan manusia adalah rasionya (akal budinya). Pelopornya ialah Rene Descartes. Aliran ini sangat mendewakan akal budi manusia yang melahirkan faham ‘intelektualisme’ dalam dunia pendidikan. 
  2. Intuisionisme (intuisi). Secara etimologis intuisi berarti langsung melihat. Pengertian secara umum, merupakan suatu metode yang tidak berdasarkan penalaraan maupun pengalaman dan pengamataan indra. Kaum intuisionis berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan khusus, yaitu cara khusus untuk mengetahui yang tidak terikat kepada indra maupun penalaran. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan yang teratur, intuisi tidak bisa digunakan. Intuisi hanya dapat digunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pendapat yang dikemukakan. Memang intuisi dipercaya mampu memahami banyak hal yang tidak dipahami oleh akal untuk menutupi kekurangan itu, manusi dilengkapi dengan  intuisi ataau hati (qalb), sehingga akan lengkaplah seluruh perangkat ilmu bagi manusia. (Jalaluddin,2014). Jawaban dari permasalahan yang sedang difikirkan muncul di benak manusia sebagai suatu keyakinan yang benar walaupun manusia tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya untuk sampai ke situ secara rasional.Dalam tradisi Islam, para sufi menyebut pengetahuan ini sebagai rasa yang mendalam (dzauq) yang berkaitan dengan persepsi batin. Dengan demikian pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan yang dikaruniakan tuhan kepada seseorang dan pada qalbu-Nya sehingga tersikaplah olehnya sebagian rahasia dan tampak olehnya sebagai realitas. Perolehan pengetahuan ini bukan dengan jalan logis melaainkan dengan jalan kesalehan, sehingga seseorang memiliki kebeningan kalbu dan wawasan spiritual yang prima. (Mohammad, 2005)
  3. Wahyu Allah. Wahyu Allah adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat para nabi yang diutus-Nya sejak nabi pertama sampai terakhir. Wahyu adalah isyarat yang cepat atau bisikan halus atau firman tuhan yang disampaikan kepada para anbiya. Para filusuf muslim juga mengakui wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan.

   2. Asumsi

Asumsi (atau anggapan dasar) ialah anggapan yang menjadi titik tolak penelitian. Asumsi secara implicit terkandung dalam paradigma, perspektif, dan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian. Asumsi umumnya diterima begitu saja sebagai suatu yang benar dengan sendirinya. Asumsi biasa berasal dari postulat, yaitu kebenaran (dalil-dalil) a priori yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Michel Polanyi menyebut asumsi-asumsi itu sebagai ‘ dimensi yang tidak terungkap atau tersembunyi dalam ilmu pengetahuan’.  Misalnya, dalam empirisme terkandung asumsi bahwa alam ini ada, fenomena alam seragam dan sama di mana saja, alam dapat diketahui melalui pengamatan dan rasio atau metode empiris-ekperimental, fenomena alam ditentukan oleh hukum-hukum alam (deterministik) dan seterusnya. (Akhyar, 2015) 

Setiap ilmu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Asumsi ini perlu, Sebab pernyataan asumtif inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita. Sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya. Semua teori mempunyai asumsi- asumsi ini, baik yang dinyatakan secara tersurat maupun yang tercakup secara tersirat.

Ilmu menganggap bahwa obyek- obyek empiris yang menjadi bidang penelaahannya mempunyai sifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan semuanya jalin- menjalin secara teratur. Bahwa hujan yang turun diawali dengan awan yang tebal dan langit yang mendung, hal ini bukan merupakan suatu hal yang kebetulan tetapi memang polanya sudah demikian. Kejadian ini akan terulang dengan pola yang  sama. Alam merupakan suatu sistem yang teratur yang tunduk pada hukum- hukum tertentu.

Menurut Burhanudin Salam ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris : (Burhanuddin, 1997).

  1. Menganggap objek- objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam bentuk, struktur, sifat, dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa objek yang serupa ke alam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap objek- objek yang ditelaahnya dan taksonomi merupakan cabang keilmuan yang mula- mula sekali berkembang. Konsep ilmu yang lebih lanjut seperti konsep perbandingan (komparatif) dan kuantitatif hanya dimungkinkan dengan adanya taksonomi yang baik. Dengan adanya klasifikasi ini, sehingga kita menganggap bahwa individu- individu dalam suatu kelas tertentu memiliki ciri- ciri yang serupa, maka ilmu tidak berbicara mengenai kasus individu. Melainkan suatu kelas tertentu. Istilah manusia umpamanya memberikan pengertian tentang suatu kelas yang anggotanya memiliki ciri- ciri tertentu yang serupa.
  2. Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Kegiatan ini jelas tidak dapat dilakukan bila objek selalu berubah- ubah tiap waktu. Walaupun begitu kita tidak dapat menuntut adanya kelestarian yang absolut, sebab dalam perjalanan waktu setiap benda akan mengalami perubahan. Karena itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif. Artinya sisfat- sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu.  Tercakup dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda- benda dalam jangka panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda- beda untuk tiap benda. Kelestarian yang relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
  3. Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap bahwa suatu gejala bukanlah suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Setiap gejala mempunyai suatu pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan- urutan kejadian yang sama.

Sedangkan menurut Jujun S ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai hakikat keilmuan : (Jujun, 2007)

  1. Determinisme

Kelompok penganut paham ini menganggap hukum alam tunduk kepada hukum alam yang bersifat universal (determinisme). William Hamilton dan Thomas Hobbes dua orang tokoh yang menyimpulkan bahwa pengetahuan bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Faham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat pada  hukum alam yang tidak memberikan alternatif.

     2. Pilihan Bebas (Free will)

Kelompok penganut paham ini menganggap hukum yang mengatur itu tanpa sebab karena setiap gejala alam merupakan pilihan bebas. Penganut ini menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya tanpa terikat hukum alam. Kebalikan dari deterministik bahwa ilmu social menemukan banyak karakteristiknya disini dibandingkan dengan ilmu sains.   

      3.Probabilistik

Kelompok penganut paham ini berada diantara deterministik dan pilihan bebas yang menyatakan bahwa gejala umum yang universal itu memang ada namun sifatnya berupa peluang (probabilistik). Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa hukum alam tunduk kepada hukum alam (deterministik) akan tetapi suatu kejadian tertentu tidak harus selalu mengikuti pola tersebut. Jujun (1992) memaparkan bahwa ilmu itu tidak mengemukakan kalau X selalu mengakibatkan Y, melainkan X memiliki peluang yang besar untuk mengakibatkan terjadinya Y

Ilmu pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidaklah perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dari kehidupan ini. Walaupun demikian  sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi, sebab ilmu pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi diantara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistik.

Dalam mengembangkan asumsi maka harus diperhatikan beberapa hal. Pertama, asumsi harus relevan dengan bidang ilmu dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya“ bukan “bagaimana keadaan seharusnya” asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasar  telah moral. Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia “yang mencari keuntungan yang sebesar- besarnya dengan korbanan sekecil- kecilnya” maka itu sajalah yang kita jadikan pegangan tidak usah ditambah sebaiknya begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya  asumsi semacam ini digunakan dalam penyusunan kebijaksanaan (policy), atau strategi serta penjabaran peraturan lainnya maka hal ini bisa saja dilakukan asal semua itu membantu kita dalam menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori keilmuan sebab metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan sesungguhnya sebagaimana adanya. (Jujun, 2007)

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa asumsi ilmu sangat diperlukan karena setiap ilmu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Dan Asumsi inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita.

3.  Penelitian Pendidikan Islam

Pendidikan Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang mendapat banyak perhatian dari para ilmuwan. Hal ini dikarenakan di samping peranannya yang sangat strategis dalam rangka meningkatan sumber daya manusia, juga karena di dalam Islam terdapat berbagai masalah yang kompleks dan memerlukan penangan segera.

Ilmu pengetahuan berkembang sesuai dengan perkembangan  kebutuhan manusia. Sedangkan kebutuhan manusia adalah sesuatu yang berkembang di dalam dan bersama dengan perkembangan kebudayaan. Maka manusia selalu berupaya berdasarkan disiplin metodologi ilmiah, dengan tujuan menemukan prinsip-prinsip baru untuk mengantisipasi perubahan dan perkembangan kebutuhannya. Itulah yang disebut penelitian. (Anton,209).

Adapun pengertian pendidikan dari segi istilah menurut Ki Hajar Dewantara adalah upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh anak yang antara satu dengan lainnya berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunia nya. (Ki Hajar Dewantara, 1962)

Islam sebagai agama yang bersumber dari al qur’an dan hadist, Islam terbukti memiliki ajaran yang komprehensif, yaitu ajaran yang tidak hanya ditujukan untuk mencapai kehidupan dunia, melainkan juga di akhirat. Selanjutnya, jika kata pendidikan dan Islam disatukan menjadi pendidikan Islam, artinya secara sederhana adalah pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam dengan ciri-cirinya sebagaimana tersebut di atas. Sebagian ada yang mengatakan bahwa pendidikann Islam adalah proses pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman ajaran  Islam sebaagaimana termaktub dalam al qur’an dan terjabar dalam as sunnah dan pendapat para ulama. (Zuharini, 1992)

Ilmu Pendidikan Islam, cakupannya ialah masalah-masalah yang berada dalam tataran ilmu (sains), yaitu objek-objek yang logis dan empiris tentang pendidikan. Maka pengetahuan (ilmu) pendidikan Islam terdiri dari pengetahuan filsafat pendidikan, tasawuf (mistik) pendidikan dan ilmu pendidikan. (Ahmad,1995).  Dengan demikian, maka penelitian pendidikan Islam, mencakup penelitian terhadap pengetahuan filsafat pendidikan Islam, pengetahuan mistik Pendidikan Islam, dan Ilmu Pendidikan Islam. Penelitian dalam arti kajian logika dan mistik telah banyak dilakukan para ulama Islam. Sementara itu, kajian atau tepatnya penelitian terhadap ilmu Pendidikan yang bersifat empris dinilai masih belum banyak dilakukan pakar Islam. Sedangkan kajian dengan yang terakhir inilah menjadi modal bagi pegembangan ilmu pendidikan Islam.    

Dari penelitian Ilmu Pendidikan Islam (sains yang empiris) itu akan mucul teori yang selanjutnya disesuaikan dengan ajaran Islam. Teori-teori itulah yang kelak disebut teori Ilmu Pendidikan Islam. Dengan demikian, pengembangan Ilmu Pendidikan Islam tidaklah mencakup pekerjaan mengembangkan filsafat pendidikan Islam dan tidak pula mengembangkan manual-manual pendidikan Islam. Teori-teori yang perlu dikembangkan dalam Ilmu pendidikan Islam sangat luas mulai dari teori tentang pendidikan Islam pada masa pra natal.

Jika hendak mengembangkan ilmu pendidikan Islami maka kita harus mengembangkan teori-teori ilmu pendidikan islami tersebut. Mengembangkan ilmu berarti mengembangkan teori. Selanjutnya mengembangkan teori sekurang-kurangnya dapat berarti :

  1. Merevisi teori yang sudah ada. Di sini teori lama tidak dibuang sluruhnya melainkan hanya disempurnakan.
  2. Mengganti teori lama dengan teori baru. Disini teori lama tersebut dibuang semuanya.
  3. Membuat teori. Di sini, kita membuat teori, karena memang belum ada teori sebelumnya itu.

Dalam pengembangan teori tersebut itu, apakah merevisi, mengganti, atau pun membuat teori, diperlukan metode yang menjelaskan cara kerja yang terpertanggungjawabkan. Jika kita merevisi teori yang atau hendak mengganti teori , itu berarti teori lama sudah ada. Teori lama yang ada dan banyak ialah teori pendidikan dari barat. Apa salahnya kita mulai dengan memeriksa teori pendidikan barat tersebut, lantas kita konsultasikan ke Islam (al-qur’an, hadist), boleh jadi teori itu kita terima, kita revisi, atau kita tolak. Inilah persoalan islamisasi ilmu pendidikan dalam rangka mengembangkan pendidikan Islami. Jika cara ini ditempuh maka kita dikatakan menggunakan metode induksi-konsultasi.

Ada dua arus yang muncul tentang cara pengembangan Ilmu Pendidikan Islami. Pertama cara deduksi, yaitu kita mulai dari teks wahyu atau sabda rasul; lantas ditafsirkan, dari sini muncul teori pendidikan pada tingkat filsafat; teori itu dieksperimenkan, dari sini akan muncul teori ilmu pendidikan pada tingkat ilmu (sains). Selanjutnya diuraaikan lebih operasional sehingga langsung dapat dijadikan petunjuk teknis (manual). Uraian sebagai berikut.

Cara deduksi memang menjamin teori yang diproduksi tidak akan menyimpang atau berlainan dengan ajaran Islam. Tetapi cara ini amat lama, mahal, dan sulit. Agaknya cara kedua lebih cepat murah dan mudah. Kedua, ialah cara induksi-konsultasi, yaitu sebagaimana telah diuraikan tadi, kita ambil teori yang sudah ada (baik dari barat maupun timur), kita konsultasikan ke al qur’an dan atau hadist, jika tidak berlawanan, maka teori itu kita daftarkan ke dalam khazanah Ilmu pendidikan Islami. Ini bukan berarti cara deduksi sama sekali tidak digunakan. (Ahmad, 2012)

C. KESIMPULAN

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang diperoleh sebagi hasil rentetan daur-daur penyimpul-ratapan (induksi), penyimpul-khasan (deduksi) dan penyahihan (verifikasi/validasi) yang terus menerus tak kunjung usai.

  Empat sumber ilmu pengetahuan yaitu empirisme, rasionalisme, intuisi serta akal merupakan dasar pijakan dalam membuat asumsi. Asumsi (atau anggapan dasar) ialah anggapan yang menjadi titik tolak penelitian. Asumsi secara implicit terkandung dalam paradigma, perspektif, dan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian. Ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai hakikat keilmuan yaitu determinisme, free will dan probabilistik. Dapat disimpulkan bahwa asumsi ilmu sangat diperlukan karena setiap ilmu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Dan Asumsi inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan/penelitian.

Penelitian merupakan upaya untuk mengembangkan ilmu, mengembangkan ilmu pendidikan Islami kita harus mengembangkan teori-teori ilmu pendidikan islami tersebut. Mengembangkan ilmu berarti mengembangkan teori, dengan dua cara pertama deduktif dan kedua induksi-konsultasi. Penelitian pendidikan Islam, mencakup penelitian terhadap pengetahuan filsafat pendidikan Islam, pengetahuan mistik Pendidikan Islam, dan Ilmu Pendidikan Islam. Penelitian dalam arti kajian logika dan mistik telah banyak dilakukan para ulama Islam. Sementara itu, kajian atau tepatnya penelitian terhadap ilmu Pendidikan yang bersifat empris dinilai masih belum banyak dilakukan pakar Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, Anton dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Dewantara, Ki Hajar. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Malis Luhur Taman Siswa, 1962.

Jalaludin. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban . Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Komara, Endang. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung: Reflika Aditama, 2011.

Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer.  Jakarta: Rajawali Press, 2015.

Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu (Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan). Yogjakarta: Belukar, 2005.

Salam, Burhanudin.  Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta,1997.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pancaraninta, 2007.

————–. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Tafsir, Ahmad.Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Gunung Ddjati, 1995.

————-. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012. 

Zuharini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

About the author

H. Ahmad Irfan, S.S, M.Pdi

Add Comment

Click here to post a comment